MADURA (TUGAS 1)
Madura begitu sarat akan
budayanya yang keras dan beringas. Sehingga terkadang bagi masyarakat yang
belum pernah bertemu dengan orang Madura akan merasa enggan bahkan sedikit
gugup apabila bertatap muka dan bercakap langsung dengan orang madura. Salah
satu budaya yang paling dan ditakuti ialah budaya carok. Yaitu sebuah budaya
yang mempertontonkan pertarungan antara dua laki-laki. Budaya carok dilakukan
saat terjadi konflik antara dua belah pihak. Konflik dan pertentangan tersebut
dilatarbelakangi oleh pembelaan atas harga diri dari masing-masing petarung.
Budaya carok sangat identik dengan senjata celurit, karena celurit merupakan
senjata yang digunakan bertarung dalam budaya carok.
Melihat penjelasan tersebut
diatas dapat diketahui bahwasanya budaya carok sengaja mempertontonkan
kekerasan. Sedangkan tindak kekerasan merupakan tindak pidana yang diatur oleh
hukum pidana dalam KUHP pasal 338.
Selain budaya carok,
masyarakat Madura juga identik dengan budaya kerapan sapi. Kerapan sapi
merupakan budaya khas Madura yang mempertontonkan beberapa ekor sapi yang diadu
lari. Mungkin lebih gampangnya bisa disebut dengan pacuan sapi. Kerapan sapi
biasanya diikuti oleh masyarakat Madura di kelas yang tingkat ekonominya
berkecukupan. Mengapa demikian? Karena untuk membeli dan merawat seekor sapi
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun demikian, pada kenyataannya kerapan
sapi sebagian kecil juga diikuti oleh masyarakat Madura dalam kelas ekonomi
yang pas-pasan. Kerapan sapi merupakan sebuah ajang kompetisi yang bonafit dan
dipandang sebagai sesuatu yang bernilai prestise yang tinggi. Karena barang
siapa yang memenangkan kerapan tersebut maka akan menjadi orang terpandang dan
disegani oleh masyarakat umum.
Kedua budaya tersebut ialah
sebuah ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat Madura. Budaya memang merupakan
identitas bagi suatu kelompok masyarakat. Budaya pula yang paling banyak
mempengaruhi penciptaan watak terhadap masyarakat tertentu.
Seiring perkembangan jaman
serta globalisasi yang kian hari tak dapat dibendung, rupanya eksistensi budaya
semakin hari semakin terpuruk disebabkan karenanya. Hal tersebut dapat dilihat
dari kasus “pencurian” dan klaim kebudayaan terhadap bangsa Indonesia oleh
negara lain. Seperti Malaysia yang mengklaim bahwa tradisi Reog merupakan
tradisi asli bangsa Malaysia. Sejak munculnya isu tersebut bangsa Indonesia
mulai sadar akan kalalaiannya dalam memperhatikan dan melestarikan budaya
masyarakat pribumi. Oleh karena itulah sejak adanya kasus tersebut bangsa
Indonesia mulai memperhatikan dan sekuat tenaga mempertahankan eksistensi
kebudayaan masyarakat pribumi.
Pudarnya kebudayaan ternyata
tidak hanya dialami oleh masyarakat Kabupaten Ponorogo. Masyarakat Madura
mengalami hal serupa. Hal tersebut diketahui mengingat generasi muda Madura
lebih tergiur dengan kebudayaan asing yang serba modern. Generasi muda Madura
cenderung mulai jenuh dengan pelajaran budaya Madura yang mereka hadapi di
setiap bangku sekolah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan semakin memudarnya
penggunaan bahasa Madura – terutama bahasa halus – dalam pergaulan sehari-hari.
Kebanyakan generasi Madura lebih bangga menggunakan bahasa “Indonesia gaul”
daripada menggunakan bahasa Madura-nya sendiri. Sehingga tak jarang apabila
pemuda Madura gelagapan saat diajak berbicara denga bahasa
halus. Pembuktian lain juga ditunjukkan dengan mulai bosannya siswa-siswi
Madura mengikuti pelajaran budaya Madura. Kebanyakan mereka beranggapan bahwa
bahasa Madura tidak perlu untuk dipelajari kembali, karena bahasa tersebut
sudah dipakainya setiap hari. Sehingga dapat dilihat apabila ternyata nilai
pelajaran budaya Madura cenderung rendah dengan mata pelajaran lainnya, seperti
matematika, IPS, IPA, dan lainnya. Masih banyak pula pembuktian akan mulai
memudarnya eksistensi budaya Madura di mata generasi muda Madura, seperti telah
dilupakannya lagu daerah Madura, tarian Madura, dan budaya lainnya seperti
seni, hingga struktur susunan rumah khas Madura yaitu taneyan lanjhang.
Melihat arti dari budaya
yang berasal dari kata Buddhayah dari kata buddhi yang berarti budi atau
akal. Maka kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan
budi atau akal. E. B. Tylor mendefinisikan kebudayaan
adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Selo Soemarjdan dan Soelaeman Soemardi
mengartikan kebuyaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Dari pengertian budaya
tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya merupakan sesuatu hal
yang patut untuk dipertahankan eksistensinya. Karena budaya merupakan identitas
sebuah masyarakat. Tidak akan disebut masyarakat Madura apabila tak bisa
berbahasa Madura. Dan tidak akan diesbut masyarakat Jawa apabila tak tahu
berbahasa Jawa. Sehingga apabila eksistensi budaya bangsa Indonesia semakin
memudar, maka predikat bangsa kita sebagai bangsa yang mempunyai masyarakat
ter-majemuk dan kaya akan kebudayaan akan kendas begitu saja.
Pelestarian budaya saat ini
sudah banyak mendapat dukungan dan perhatian dari budayawan serta aktifis
maupun akademisi. Banyak seminara serta acara pentas yang berbau seni
tradisional untuk mengangkat budaya bangsa, khususnya budaya Madura. Seperti
seminar kebudayaan yang diselenggarakan oleh kabinet mahasiswa Universitas
Trunojoyo Madura dengan tema “Pariwisata dan Budaya Madura, Seperti Apa?”. Dan
yang baru-baru ini penyelenggaraan pentas seni di pemkasan, yaitu “Festifal
Lontar Pamekasan” yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juli 2011.
Berbicara mengenai
pelestarian budaya. Terdapat hal rancu yang terjadi apabila niat akan
melestarikan budaya dibenturkan dengan sistem hukum di Indonesia. Mungkin
budaya seperti permainan tradisonal, nyanyian tradisional, serta makanan
tradisional dan lainnya tidak akan berbenturan dengan sistem hukum Indonesia.
Namun bagaimana apabila budaya carok dan kerapan sapi dibenturkan dengan
hukum?, tentunya terdapatcrash antar
keduanya. Sesuai dengan KUHP Pasal 338 yang berbunyi “Barangsiapa sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun” maka budaya carok merupakan faktor penyebab
tumbuhnya kriminalitas. Lalu demikian pula dengan budaya kerapan sapi akan
terjadicrash saat
dibenturkan dengan hukum, yaitu KUHP Pasal 302 tentang penganiayaan terhadap
binatang. Lantas bagaimanakah dengan upaya melestarikan budaya apabila
dibenturkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia?.
Mungkin saat ini upaya
pelestarian budaya seperti carok tidak begitu intens diberlakukan, karena
memang para budayawan juga mempertimbangkan sisi hukumnya. Budayawan lebih
terkonsentrasi dalam pelestarian budaya lokal yang sifatnya ringan dan berbau
seni seperti acara dan pentas yang telah dijelaskan sebelumnya. Padahal apabila
kita melihat pengertian budaya sebagai “identitas” yang kuat, maka budaya kuat
yang menjadikan masyarakat Madura sebagai masyarakat yang keras dan menakutkan
ialah budaya caroknya. Masyarakat luar Madura cenderung takut untuk melakukan
interaksi dengan massyarakat Madura karena imej / pencitraan masyarakat Madura yang
keras dan sangar dari desas-desus budaya caroknya yang menyebar ke seluruh
penjuru negeri. Lantas jikalau memang kita mengartikan budaya sebagai
“identitas” maka budaya carok-lah yang dijadikan prioritas upaya mempertahankan
budaya dan kearifan lokal. Akan tetapi hal tersebut akan kembali pada
permasalahan crash terhadap sistem hukum Indonesia.
Kerapan sapi merupakan
budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Madura. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa kerapan sapi ialah kegiatan mengadu lari sapi. Lagi-lagi
budaya ini memunculkan crash saat dihadapkan pada peraturan hukum Inonesia
dalam pasal 302 mengenai penganiayaan terhadap binatang. Saya simpulkan kerapan
sapi termasuk pada kejahatan pasal 302, karena pada praktiknya kerapan sapi
yang dilakukan cenderung memanipulasi binatang hingga diluar batas
keperihewanian. Sapi yang akan diadu larinya selain diberi jamu penguat stamina
juga diberi bayak tusukan paku di ekor dan pantatnya. Selain tiberi paku,
pantat sapi tersebut dilumuri balsem dan cabai agar efek sakit dan panas yang
dirasakan sapi tersebut akan membuat sapi lari sekencang-kencangnya. Hal
tersebut-lah yang membuat saya menyimpulkan bahwa tindakan tersebut merupakan
pelanggaran keperihewanian.
Memang, dalam penegakan
hukum di Indonesia selain menjadikan KUHP pedoman penegakan hukum juga
mengindahkan hukum adat sebagai petimbangan keputusan hukum. Seperti kasus
carok hingga menelan korban lawan. Tersangka pembunuhan dalam tradisi carok
dituntut hukuman mati/seumur hidup akibat perbuatannya, akan tetapi melihat
dari hukum adat daerah tersebut maka hukuman dapat diringankan menjadi hukuman
selama 15 tahun penjara. Memang setiap budaya di daerah tertentu mengikut
kepada hukum adat di daerah tersebut pula, akan tetapi yang menjadi rujukan dan
pedoman inti penegakan hukum tetaplah KUHP yang berlaku secara nasional.
Olehkarena itulah carok tetap menjadi sebuah perbuatan kriminal di mata hukum
Indonesia.
Lantas bagaimanakah kita
menghadapi problema demikian?. kita semua dibuat dilema dengan upaya penegakan
budaya dengan pertimbangan hukum Indonesia yang cukup ketat. Lantas apakah
budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Madura akan dihapus begitu saja?,
lantas apabila jalan tersebut diambil maka tak akan ada lagi masyarakat Madura.
Penulis melihat bahwa
problema demikian merupakan bentuk dari sebuah perubahan sosial. Seperti yang
telah diketahui bahwa sifat umum masyarakat ialah dinamis, dinamis maksudnya
ialah selalu berubah-ubah seiring perkembangan jaman.Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia
sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Perubahan sosial budaya adalah
sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu
masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi
sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di
antaranya komunikasi; cara dan pola pikirmasyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk,
penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Melihat dari cara dan budaya
masyarakat Madura saat ini tentunya berbeda dengan cara / budaya yang dilakukan
masyarakat Madura tempo dulu. Terdapat suatu perubahan sosial masyarakat Madura
dalam melestarikan tradisi kerapan sapi. Pada awalnya kerapan sapi dan carok
merupakan tradisi budaya Madura yang mengandung makna nilai dan norma yang
positif. Carok melambangkan sebuah keperkasaan, kehormatan, dan harga diri.
Sedangkan kerapan sapi melambangkan kerja sama, persaingan, sportifitas, dan
keakraban serta rasa syukur.
Tradisi carok akan
dilaksanakan apabila terdapat dua orang yang bertikai dan merasa harga dirinya
terhina. Misalkan saja seorang laki-laki yang isterinya digoda oleh lelaki
lain, maka sang suami tersebut akan mengajak carok lelaki yang menggoda
isterinya tadi. Wanita dalam pandangan masyarakat Madura sangatlah mulia dan
mempunyai tempat sebagai lambang kehormatan dan harga diri seorang lelaki,
sehingga apabila wanita/isteri/anak perempuannya terganggu maka hal ersebut
akan memunculkan tradisi carok. Akan tetapi sayangnya saat ini carok hanya digunanakan
ajang sebagai balas dendam dan sebatas mengadu kekuatan saja.
Selain itu pula budaya
kerapan sapi juga telah mengalami perubahan sosial budaya. Kerapan sapi
merupakan lambang dari kerja sama, persaingan, sportifitas, dan
keakraban/solidaritas serta rasa syukur. Sejarah munculnya kerapan sapi konon
karena bentuk rasa syukur petani atas keberhasilan panennya. Awalnya petani
yang membajak sawahnya menggunakan sapi saling berlomba agar bajakannya cepat
selesai dengan memacu sapinya. Sehingga para petani terbesit untuk melombakan
sapinya dalam berlari, sehingga lahirlah tradisi kerapan sapi. Akan tetapi saat
ini sungguh disayangkan karena pada kenyatannya terdapat perilaku menyimpang
dari peserta kerapan sapi. Mereka cenderung mengekspolitas sapi tanpa rasa
keperihewanian dengan cara menyiksanya. Ironisnya mereka melakukan hal tersebut
dilatar belakangi nafsu dan hasrat untuk menjadi juara, menjadi pemenang tanpa
mengindahkan nasib sapinya. Oleh karena itulah budaya tersebut berbenturan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Maka dari itulah
rekonstruksi budaya menjadi cara yang cukup bijak menanggapi masalah tersebut.
Apabila menimbang dari beberapa kasus diatas, memang perlu dilakukan suatu cara
yang bertujuan untuk memperbaiki budaya yang dinilai sudah tidak cocok
diterapkan di era jaman saat ini. Rekonstruksi dinilai cukup baik, karena
tujuan rekonstruksi disini ialah “bagaimana mempertahankan budaya dan kearifan
lokal agar tetap eksis dan survive di tengah peradaban yang maju”. Banyak cara
yang bisa dilakukan untuk memodifikasi budaya kita yang sudah usang dan tak
layak dipertontonkan di depan khalayak umum karena pertimbangan hukum,
kemanusiaan, dan lain sebagainya. Banyak sekali keluhan yang diutarakan oleh
HPI (himpunan pramuwisata Indonesia) saat mendampingi para turis menjelajahi
kebudayaan Madura, karena budaya madura yang paling terkenal ialah kerapan
sapi, sedangkan para pemilik sapi tersebut memperlakukan sapinya melebihi batas
keperihewanian. Sehingga para pramuwisata khawatir akan berdampak traumatis
kepada para turis saat menonton kerapan sapi.
Rekonstruksi dan perbaikan
budaya ini merupakan hal yang perlu untuk dilakukan budayawan dan pemerintah
daerah. Carok yang awalnya tidak layak untuk dipertontonkan dapat menjadi layak
apabila diberikan sedikit modifikasi di dalamnya. Budaya carok dapat
dipetontonkan dengan cara menggelar pentas carok yang dikemas dalam sebuah
sandiwara wayang orang. Sehingga dengan adanya pentas carok tersebut selain
mempertahankan budaya Madura juga dapat mempromosikan dan memperkenalkan
kebudayaan Madura kepada turis nasional maupun mancanegara. Apabila carok dapat
diperkenalkan kepada masyrakat luas khususnya generasi muda Madura secara benar
dan tepat, maka kearifan lokal dan esensi murni budaya carok akan terangkat,
yaitu budaya carok adalah sebuah lambang kegagahan dan sebuah pembelaan
terhadap harga diri seorang Madura saat merasa terlecehkan. Jadi asumsi-asumsi
buruk yang beredar seputar tradisi carok kian lama akan hilang berganti pada
asumsi positif mengenai makna carok sebenarnya, dan secara langsung akan
mengangkat citra dan imej masyrakat luas terhadap masyarakat
Madura.
Begitu pula dengan budaya
kerapan sapi, perlu diberikan perubahan khusus dalam merekonstruksi budaya
kerapan sapi. Pemerintah daerah dinilai sangat perlu untuk mengubah orientasi
pemilik dan penyelenggara kerapan sapi yang cenderung tidak berkeperihewanian
menjadi sedikit rasional dan dikemas semenarik mungkin. Karena apabila acara
kerapan sapi diikuti dengan cara yang baik dan menarik akan membuat wisatawan
tertarik menikmati kerapan sapi, dan kesan menyiksa hewan akan luntur dengan
sendirinya. Padahal sangat disayangkan apabila kerapan sapi yang seharusnya
menunjukkan sebuah cerminan masyarakat Madura yang berjiwa kerja keras, kerja
sama, bersaing, ketertiban dan sportivitas tercemar oleh perilaku obsesi akan
kemenangan sampai-sampai tidak mengindahkan norma keperihewanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar