Selasa, 06 Januari 2015

MADURA (TUGAS 1)

MADURA (TUGAS 1)








Madura begitu sarat akan budayanya yang keras dan beringas. Sehingga terkadang bagi masyarakat yang belum pernah bertemu dengan orang Madura akan merasa enggan bahkan sedikit gugup apabila bertatap muka dan bercakap langsung dengan orang madura. Salah satu budaya yang paling dan ditakuti ialah budaya carok. Yaitu sebuah budaya yang mempertontonkan pertarungan antara dua laki-laki. Budaya carok dilakukan saat terjadi konflik antara dua belah pihak. Konflik dan pertentangan tersebut dilatarbelakangi oleh pembelaan atas harga diri dari masing-masing petarung. Budaya carok sangat identik dengan senjata celurit, karena celurit merupakan senjata yang digunakan bertarung dalam budaya carok.
Melihat penjelasan tersebut diatas dapat diketahui bahwasanya budaya carok sengaja mempertontonkan kekerasan. Sedangkan tindak kekerasan merupakan tindak pidana yang diatur oleh hukum pidana dalam KUHP pasal 338.
Selain budaya carok, masyarakat Madura juga identik dengan budaya kerapan sapi. Kerapan sapi merupakan budaya khas Madura yang mempertontonkan beberapa ekor sapi yang diadu lari. Mungkin lebih gampangnya bisa disebut dengan pacuan sapi. Kerapan sapi biasanya diikuti oleh masyarakat Madura di kelas yang tingkat ekonominya berkecukupan. Mengapa demikian? Karena untuk membeli dan merawat seekor sapi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun demikian, pada kenyataannya kerapan sapi sebagian kecil juga diikuti oleh masyarakat Madura dalam kelas ekonomi yang pas-pasan. Kerapan sapi merupakan sebuah ajang kompetisi yang bonafit dan dipandang sebagai sesuatu yang bernilai prestise yang tinggi. Karena barang siapa yang memenangkan kerapan tersebut maka akan menjadi orang terpandang dan disegani oleh masyarakat umum.
Kedua budaya tersebut ialah sebuah ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat Madura. Budaya memang merupakan identitas bagi suatu kelompok masyarakat. Budaya pula yang paling banyak mempengaruhi penciptaan watak terhadap masyarakat tertentu.
Seiring perkembangan jaman serta globalisasi yang kian hari tak dapat dibendung, rupanya eksistensi budaya semakin hari semakin terpuruk disebabkan karenanya. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus “pencurian” dan klaim kebudayaan terhadap bangsa Indonesia oleh negara lain. Seperti Malaysia yang mengklaim bahwa tradisi Reog merupakan tradisi asli bangsa Malaysia. Sejak munculnya isu tersebut bangsa Indonesia mulai sadar akan kalalaiannya dalam memperhatikan dan melestarikan budaya masyarakat pribumi. Oleh karena itulah sejak adanya kasus tersebut bangsa Indonesia mulai memperhatikan dan sekuat tenaga mempertahankan eksistensi kebudayaan masyarakat pribumi.
Pudarnya kebudayaan ternyata tidak hanya dialami oleh masyarakat Kabupaten Ponorogo. Masyarakat Madura mengalami hal serupa. Hal tersebut diketahui mengingat generasi muda Madura lebih tergiur dengan kebudayaan asing yang serba modern. Generasi muda Madura cenderung mulai jenuh dengan pelajaran budaya Madura yang mereka hadapi di setiap bangku sekolah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan semakin memudarnya penggunaan bahasa Madura – terutama bahasa halus – dalam pergaulan sehari-hari. Kebanyakan generasi Madura lebih bangga menggunakan bahasa “Indonesia gaul” daripada menggunakan bahasa Madura-nya sendiri. Sehingga tak jarang apabila pemuda Madura gelagapan saat diajak berbicara denga bahasa halus. Pembuktian lain juga ditunjukkan dengan mulai bosannya siswa-siswi Madura mengikuti pelajaran budaya Madura. Kebanyakan mereka beranggapan bahwa bahasa Madura tidak perlu untuk dipelajari kembali, karena bahasa tersebut sudah dipakainya setiap hari. Sehingga dapat dilihat apabila ternyata nilai pelajaran budaya Madura cenderung rendah dengan mata pelajaran lainnya, seperti matematika, IPS, IPA, dan lainnya. Masih banyak pula pembuktian akan mulai memudarnya eksistensi budaya Madura di mata generasi muda Madura, seperti telah dilupakannya lagu daerah Madura, tarian Madura, dan budaya lainnya seperti seni, hingga struktur susunan rumah khas Madura yaitu taneyan lanjhang.
Melihat arti dari budaya yang berasal dari kata Buddhayah dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Maka kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. E. B. Tylor mendefinisikan kebudayaan adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Selo Soemarjdan dan Soelaeman Soemardi mengartikan kebuyaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Dari pengertian budaya tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya merupakan sesuatu hal yang patut untuk dipertahankan eksistensinya. Karena budaya merupakan identitas sebuah masyarakat. Tidak akan disebut masyarakat Madura apabila tak bisa berbahasa Madura. Dan tidak akan diesbut masyarakat Jawa apabila tak tahu berbahasa Jawa. Sehingga apabila eksistensi budaya bangsa Indonesia semakin memudar, maka predikat bangsa kita sebagai bangsa yang mempunyai masyarakat ter-majemuk dan kaya akan kebudayaan akan kendas begitu saja.
Pelestarian budaya saat ini sudah banyak mendapat dukungan dan perhatian dari budayawan serta aktifis maupun akademisi. Banyak seminara serta acara pentas yang berbau seni tradisional untuk mengangkat budaya bangsa, khususnya budaya Madura. Seperti seminar kebudayaan yang diselenggarakan oleh kabinet mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura dengan tema “Pariwisata dan Budaya Madura, Seperti Apa?”. Dan yang baru-baru ini penyelenggaraan pentas seni di pemkasan, yaitu “Festifal Lontar Pamekasan” yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juli 2011.
Berbicara mengenai pelestarian budaya. Terdapat hal rancu yang terjadi apabila niat akan melestarikan budaya dibenturkan dengan sistem hukum di Indonesia. Mungkin budaya seperti permainan tradisonal, nyanyian tradisional, serta makanan tradisional dan lainnya tidak akan berbenturan dengan sistem hukum Indonesia. Namun bagaimana apabila budaya carok dan kerapan sapi dibenturkan dengan hukum?, tentunya terdapatcrash antar keduanya. Sesuai dengan KUHP Pasal 338 yang berbunyi “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” maka budaya carok merupakan faktor penyebab tumbuhnya kriminalitas. Lalu demikian pula dengan budaya kerapan sapi akan terjadicrash saat dibenturkan dengan hukum, yaitu KUHP Pasal 302 tentang penganiayaan terhadap binatang. Lantas bagaimanakah dengan upaya melestarikan budaya apabila dibenturkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia?.
Mungkin saat ini upaya pelestarian budaya seperti carok tidak begitu intens diberlakukan, karena memang para budayawan juga mempertimbangkan sisi hukumnya. Budayawan lebih terkonsentrasi dalam pelestarian budaya lokal yang sifatnya ringan dan berbau seni seperti acara dan pentas yang telah dijelaskan sebelumnya. Padahal apabila kita melihat pengertian budaya sebagai “identitas” yang kuat, maka budaya kuat yang menjadikan masyarakat Madura sebagai masyarakat yang keras dan menakutkan ialah budaya caroknya. Masyarakat luar Madura cenderung takut untuk melakukan interaksi dengan massyarakat Madura karena imej / pencitraan masyarakat Madura yang keras dan sangar dari desas-desus budaya caroknya yang menyebar ke seluruh penjuru negeri. Lantas jikalau memang kita mengartikan budaya sebagai “identitas” maka budaya carok-lah yang dijadikan prioritas upaya mempertahankan budaya dan kearifan lokal. Akan tetapi hal tersebut akan kembali pada permasalahan crash terhadap sistem hukum Indonesia.
Kerapan sapi merupakan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Madura. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kerapan sapi ialah kegiatan mengadu lari sapi. Lagi-lagi budaya ini memunculkan crash saat dihadapkan pada peraturan hukum Inonesia dalam pasal 302 mengenai penganiayaan terhadap binatang. Saya simpulkan kerapan sapi termasuk pada kejahatan pasal 302, karena pada praktiknya kerapan sapi yang dilakukan cenderung memanipulasi binatang hingga diluar batas keperihewanian. Sapi yang akan diadu larinya selain diberi jamu penguat stamina juga diberi bayak tusukan paku di ekor dan pantatnya. Selain tiberi paku, pantat sapi tersebut dilumuri balsem dan cabai agar efek sakit dan panas yang dirasakan sapi tersebut akan membuat sapi lari sekencang-kencangnya. Hal tersebut-lah yang membuat saya menyimpulkan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran keperihewanian.
Memang, dalam penegakan hukum di Indonesia selain menjadikan KUHP pedoman penegakan hukum juga mengindahkan hukum adat sebagai petimbangan keputusan hukum. Seperti kasus carok hingga menelan korban lawan. Tersangka pembunuhan dalam tradisi carok dituntut hukuman mati/seumur hidup akibat perbuatannya, akan tetapi melihat dari hukum adat daerah tersebut maka hukuman dapat diringankan menjadi hukuman selama 15 tahun penjara. Memang setiap budaya di daerah tertentu mengikut kepada hukum adat di daerah tersebut pula, akan tetapi yang menjadi rujukan dan pedoman inti penegakan hukum tetaplah KUHP yang berlaku secara nasional. Olehkarena itulah carok tetap menjadi sebuah perbuatan kriminal di mata hukum Indonesia.
Lantas bagaimanakah kita menghadapi problema demikian?. kita semua dibuat dilema dengan upaya penegakan budaya dengan pertimbangan hukum Indonesia yang cukup ketat. Lantas apakah budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Madura akan dihapus begitu saja?, lantas apabila jalan tersebut diambil maka tak akan ada lagi masyarakat Madura.
Penulis melihat bahwa problema demikian merupakan bentuk dari sebuah perubahan sosial. Seperti yang telah diketahui bahwa sifat umum masyarakat ialah dinamis, dinamis maksudnya ialah selalu berubah-ubah seiring perkembangan jaman.Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikirmasyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Melihat dari cara dan budaya masyarakat Madura saat ini tentunya berbeda dengan cara / budaya yang dilakukan masyarakat Madura tempo dulu. Terdapat suatu perubahan sosial masyarakat Madura dalam melestarikan tradisi kerapan sapi. Pada awalnya kerapan sapi dan carok merupakan tradisi budaya Madura yang mengandung makna nilai dan norma yang positif. Carok melambangkan sebuah keperkasaan, kehormatan, dan harga diri. Sedangkan kerapan sapi melambangkan kerja sama, persaingan, sportifitas, dan keakraban serta rasa syukur.
Tradisi carok akan dilaksanakan apabila terdapat dua orang yang bertikai dan merasa harga dirinya terhina. Misalkan saja seorang laki-laki yang isterinya digoda oleh lelaki lain, maka sang suami tersebut akan mengajak carok lelaki yang menggoda isterinya tadi. Wanita dalam pandangan masyarakat Madura sangatlah mulia dan mempunyai tempat sebagai lambang kehormatan dan harga diri seorang lelaki, sehingga apabila wanita/isteri/anak perempuannya terganggu maka hal ersebut akan memunculkan tradisi carok. Akan tetapi sayangnya saat ini carok hanya digunanakan ajang  sebagai balas dendam dan sebatas mengadu kekuatan saja.
Selain itu pula budaya kerapan sapi juga telah mengalami perubahan sosial budaya. Kerapan sapi merupakan lambang dari kerja sama, persaingan, sportifitas, dan keakraban/solidaritas serta rasa syukur. Sejarah munculnya kerapan sapi konon karena bentuk rasa syukur petani atas keberhasilan panennya. Awalnya petani yang membajak sawahnya menggunakan sapi saling berlomba agar bajakannya cepat selesai dengan memacu sapinya. Sehingga para petani terbesit untuk melombakan sapinya dalam berlari, sehingga lahirlah tradisi kerapan sapi. Akan tetapi saat ini sungguh disayangkan karena pada kenyatannya terdapat perilaku menyimpang dari peserta kerapan sapi. Mereka cenderung mengekspolitas sapi tanpa rasa keperihewanian dengan cara menyiksanya. Ironisnya mereka melakukan hal tersebut dilatar belakangi nafsu dan hasrat untuk menjadi juara, menjadi pemenang tanpa mengindahkan nasib sapinya. Oleh karena itulah budaya tersebut berbenturan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Maka dari itulah rekonstruksi budaya menjadi cara yang cukup bijak menanggapi masalah tersebut. Apabila menimbang dari beberapa kasus diatas, memang perlu dilakukan suatu cara yang bertujuan untuk memperbaiki budaya yang dinilai sudah tidak cocok diterapkan di era jaman saat ini. Rekonstruksi dinilai cukup baik, karena tujuan rekonstruksi disini ialah “bagaimana mempertahankan budaya dan kearifan lokal agar tetap eksis dan survive di tengah peradaban yang maju”. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memodifikasi budaya kita yang sudah usang dan tak layak dipertontonkan di depan khalayak umum karena pertimbangan hukum, kemanusiaan, dan lain sebagainya. Banyak sekali keluhan yang diutarakan oleh HPI (himpunan pramuwisata Indonesia) saat mendampingi para turis menjelajahi kebudayaan Madura, karena budaya madura yang paling terkenal ialah kerapan sapi, sedangkan para pemilik sapi tersebut memperlakukan sapinya melebihi batas keperihewanian. Sehingga para pramuwisata khawatir akan berdampak traumatis kepada para turis saat menonton kerapan sapi.
Rekonstruksi dan perbaikan budaya ini merupakan hal yang perlu untuk dilakukan budayawan dan pemerintah daerah. Carok yang awalnya tidak layak untuk dipertontonkan dapat menjadi layak apabila diberikan sedikit modifikasi di dalamnya. Budaya carok dapat dipetontonkan dengan cara menggelar pentas carok yang dikemas dalam sebuah sandiwara wayang orang. Sehingga dengan adanya pentas carok tersebut selain mempertahankan budaya Madura juga dapat mempromosikan dan memperkenalkan kebudayaan Madura kepada turis nasional maupun mancanegara. Apabila carok dapat diperkenalkan kepada masyrakat luas khususnya generasi muda Madura secara benar dan tepat, maka kearifan lokal dan esensi murni budaya carok akan terangkat, yaitu budaya carok adalah sebuah lambang kegagahan dan sebuah pembelaan terhadap harga diri seorang Madura saat merasa terlecehkan. Jadi asumsi-asumsi buruk yang beredar seputar tradisi carok kian lama akan hilang berganti pada asumsi positif mengenai makna carok sebenarnya, dan secara langsung akan mengangkat citra dan imej masyrakat luas terhadap masyarakat Madura.
Begitu pula dengan budaya kerapan sapi, perlu diberikan perubahan khusus dalam merekonstruksi budaya kerapan sapi. Pemerintah daerah dinilai sangat perlu untuk mengubah orientasi pemilik dan penyelenggara kerapan sapi yang cenderung tidak berkeperihewanian menjadi sedikit rasional dan dikemas semenarik mungkin. Karena apabila acara kerapan sapi diikuti dengan cara yang baik dan menarik akan membuat wisatawan tertarik menikmati kerapan sapi, dan kesan menyiksa hewan akan luntur dengan sendirinya. Padahal sangat disayangkan apabila kerapan sapi yang seharusnya menunjukkan sebuah cerminan masyarakat Madura yang berjiwa kerja keras, kerja sama, bersaing, ketertiban dan sportivitas tercemar oleh perilaku obsesi akan kemenangan sampai-sampai tidak mengindahkan norma keperihewanan.



MALUKU (TUGAS 2)

MALUKU (TUGAS 2)










Maluku atau yang dikenal secara internasional sebagai Moluccas adalah salah satu provinsi tertua di Indonesia. Ibukotanya adalah Ambon. Pada tahun 1999, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara, dengan ibukota di Sofifi. Provinsi Maluku terdiri atas gugusan kepulauan yang dikenal dengan Kepulauan Maluku.
Suku Bangsa
Suku bangsa Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melanesia Pasifik yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudra Pasifik.
Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku memiliki ikatan tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa, lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya Hawaii).
Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletis dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia, dikarenakan mereka adalah suku kepulauan yang mana aktivitas laut seperti berlayar dan berenang merupakan kegiatan utama bagi kaum pria.
Sejak zaman dahulu, banyak di antara mereka yang sudah memiliki darah campuran dengan suku lain, perkawinan dengan suku Minahasa, Sumatra, Jawa, Madura, bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa (umumnya Belanda dan Portugal) kemudian bangsa Arab, India sudah sangat lazim mengingat daerah ini telah dikuasai bangsa asing selama 2300 tahun dan melahirkan keturunan keturunan baru, yang mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi. Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa inilah maka Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan sebagai daerah Mestizo. Bahkan hingga sekarang banyak marga di Maluku yang berasal bangsa asing seperti Belanda (Van Afflen, Van Room, De Wanna, De Kock, Kniesmeijer, Gaspersz, Ramschie, Payer, Ziljstra, Van der Weden dan lain-lain) serta Portugal (Da Costa, De Fretes, Que, Carliano, De Souza, De Carvalho, Pareira, Courbois, Frandescolli dan lain-lain). Ditemukan pula marga bangsa Spanyol (Oliviera, Diaz, De Jesus, Silvera, Rodriguez, Montefalcon, Mendoza, De Lopez dan lain-lain) serta Arab (Al-Kaff, Al Chatib, Bachmid, Bakhwereez, Bahasoan, Al-Qadri, Alaydrus, Assegaff dan lain-lain). Cara penulisan marga asli Maluku pun masih mengikuti ejaan asing seperti Rieuwpassa (baca: Riupasa), Nikijuluw (baca: Nikiyulu), Louhenapessy (baca: Louhenapesi), Kallaij (baca: Kalai) dan Akyuwen (baca: Akiwen).
Dewasa ini, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja melainkan tersebar di berbagai negara di dunia. Kebanyakan dari mereka yang hijrah keluar negeri disebabkan olah berbagai alasan. Salah satu sebab yang paling klasik adalah perpindahan besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa pada tahun 1950-an dan menetap disana hingga sekarang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan kehidupan yang labih baik, menuntut ilmu, kawin-mengawin dengan bangsa lain, yang dikemudian hari menetap lalu memiliki generasi-generasi Maluku baru di belahan bumi lain. Para ekspatriat Maluku ini dapat ditemukan dalam komunitas yang cukup besar serta terkonsentrasi di beberapa negara seperti Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Belgia, Jerman dan berbagai benua lainnya.
SOSIAL BUDAYA
Bahasa
Lihat pula: Dialek Melayu Ambon
Bahasa yang digunakan di provinsi Maluku adalah Bahasa Melayu Ambon, yang merupakan salah satu dialek bahasa Melayu. Sebelum bangsa Portugis menginjakan kakinya di Ternate (1512), bahasa Melayu telah ada di Maluku dan dipergunakan sebagai bahasa perdagangan. Bahasa yang dipakai di Ambon sedikit banyak telah dipengaruhi oleh bahasa-bahasa di Sulawesi yakni suku-suku Buton,Bugis atau Makassar. Bahasa Indonesia, seperti di wilayah Republik Indonesia lainnya, digunakan dalam kegiatan-kegiatan publik yang resmi seperti di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor pemerintah. Bahasa Melayu dialek Ambon dipahami oleh hampir semua penduduk di provinsi Maluku dan umunya,dipahami juga oleh masyarakat Indonesia Timur lain seperti Ternate,Manado dll.

Bahasa yang digunakan di pulau Seram, pulau ibu (Nusa Ina/Pulau asal-muasal) dari semua suku-suku di Provinsi Maluku dan Maluku Utara adalah sebagai berikut:
bahasa Wamale (dipakai penduduk Negeri Piru,Seruawan,Kamarian dan Rumberu (Kabupaten Seram Bagian Barat)
bahasa Alune (di Kabupaten Seram Bagian Barat)
bahasa Nuaulu (dipergunakan oleh suku Nuaulu di Seram selatan yaitu,antara teluk El-Paputih dan teluk Telutih)
bahasa Koa (di pegunungan Manusela dan Kabauhari)
bahasa Seti (di pergunakan oleh suku Seti, di Seram Utara dan Telutih Timur)
bahasa Gorom (bangsa yang turun dari Seti dan dipakai oleh penduduk Gorom yang berdiam di kabupaten Seram Bagian Timur)
Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia. Banyaknya pulau yang saling terpisah satu dengan yang lainnya, juga mengakibatkan semakin beragamnya bahasa yang dipergunakan di provinsi ini. Jika diakumulasikan, secara keseluruhan, terdapat setidaknya 132 bahasa di kepulauan Maluku, yakni:
·                     Alune   Amahai            Ambelau                      Asilulu                         Babar Utara
·                     Babar tenggara             Banda                          Batuley                        Barakai
·                     Benggoi                       Boano                          Buli                              Buru
·                     Dammar Timur            Damar Barat                Dawera-Daweloor        Dobel
·                     Elpaputih                     Emplawas                    Fordata                        Hualoy
·                     Hitu                             Kadai                           Kamarian                     Kai Besar
·                     Kai Kecil                     Karey                           Kayeli                          Kisar
·                     Koba                            Kola                             Kompane                    Kur
·                     Laba                            Laha                            Larike                          Latu
·                     Leti                              Liana-Seti                    Lisbata-Nuniali           Lisela
·                     Lola                             Lorang                         Luhu                           Luang
·                     Melayu-Ambon           Melayu-Banda             Manipa                       Manusela        
·                     Masela Tengah             Masela Timur               Masela Barat             Naka'ela
·                     Nila                              Nuaulu Utara               Nuaulu Selatan           Nusa Laut
·                     Oirata                           Pagu                             Patani                         Paulohy
·                     Perai                            Piru                              Rumaolat                     Roma
·                     Sahu                            Salas                            Saleman                       Saparua
·                     Sawai                           Seith                            Selaru                          Seluwasan
·                     Sepa                             Serili                            Serua                           Talur
·                     Tarangan Timur           Tarangan Barat            Tela-Masbuar               Teluti
·                     Teor                             Te'un                           Tugun                          Tugutil
·                     Tulehu                         Wakasihu                     Watubela                     Wemale Utara
·                     Wemale Selatan           Yalahatan                    Yamdena

Dua bahasa yang telah punah adalah Palamata dan Moksela. Ratusan bahasa diatas dipersatukan oleh sebuah bahasa pengantar yang telah menjadi lingua franca sejak lama yaitu bahasa Melayu Kreol yang terdiri atas 4 varian :
Bahasa Melayu Maluku Utara dipakai di Seram bagian utara,Buru sebelah utara dan pulau - pulau kecil diutara Seram
Bahasa Melayu Ambon dipakai secara luas dikota Ambon, Saparua, Haruku, Molana, Nusa Laut, Manipa, Seram Bagian Barat, Seram Bagian TImur, Kepulauan Seram Laut, kabupaten Maluku Tengah dan pulau Buru
Bahasa Melayu Banda yang dipakai penduduk (terutama Muslim) dikepulauan Banda.
Bahasa Melayu Tenggara dipakai oleh daerah-daerah pulau dibagian Tenggara Maluku (Tenggara Jau) seperti MTB, Maluku Tenggara, MBD, kota Tual, dan Aru.
Sebelum bangsa-bangsa asing (Arab, Cina, Portugis, Belanda dan Inggris) menginjakan kakinya di Maluku (termasuk Maluku Utara), bahasa-bahasa tersebut sudah hidup setidaknya ribuan tahun dan menjadi bahasa-bahasa dari keluarga bahasa Pasifik/Melanesia.
Bahasa Indonesia, seperti di wilayah Republik Indonesia lainnya, digunakan dalam kegiatan-kegiatan publik yang resmi seperti di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor pemerintah, mengingat sejak 1980-an berdatangan 5000 KK (lebih) transmigran dari Pulau Jawa. Dengan banyaknya penduduk dari pulau lain tersebut, maka khazanah bahasa di Pulau Seram (dan Maluku) juga bertambah, yaitu kini ada banyak pemakai bahasa-bahasa Jawa, Bali dan sebagainya.

Agama
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Islam dan Kristen. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2009 adalah Mesjid 1.188 buah, Gereja 1.597 buah, Pura 10 buah dan Wihara 4 buah. Sedangkan Pemeluk agama Islam sebesar 50 persen, Kristen Protestan sebesar 40 persen, Kristen Katholik 9 persen dan lainnya 1 persen. Gereja Protestan Maluku merupakan gereja terbesar yang ada di Maluku, yang memiliki jemaat gereja di hampir seluruh desa dan negeri kristen di seluruh Maluku. Pada tahun 2008, jemaah haji yang pergi ke Mekkah sebanyak 621 orang, dimana jemaah haji terbanyak berasal dari Kota Ambon sebanyak 339 orang.

Sosial Budaya
Dalam masyarakat Maluku dikenal suatu sistem hubungan sosial yang disebut Pela dan Gandong.
SENI DAN BUDAYA

Musik
Alat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang) dan Totobuang. Masing-masing alat musik dari Tifa Totobuang memiliki fungsi yang bereda-beda dan saling mendukung satu sama lain hingga melahirkan warna musik yang sangat khas. Namun musik ini didominasi oleh alat musik Tifa. Terdiri dari Tifa yaitu, Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas, ditambah sebuah Gong berukuran besar dan Toto Buang yang merupakan serangkaian gong-gong kecil yang di taruh pada sebuah meja dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Adapula alat musik tiup yaitu Kulit Bia (Kulit Kerang).
Dalam kebudayaan Maluku, terdapat pula alat musik petik yaitu Ukulele dan Hawaiian seperti halnya terdapat dalam kebudayaan Hawaii di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat ketika musik-musik Maluku dari dulu hingga sekarang masih memiliki ciri khas dimana terdapat penggunaan alat musik Hawaiian baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi tarian tradisional seperti Katreji.
Musik lainnya ialah Sawat. Sawat adalah perpaduan dari budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab datang untuk menyebarkan agama Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti pada beberapa alat musik Sawat, seperti rebana dan seruling yang mencirikan alat musik gurun pasir.
Diluar daripada beragamnya alat musik, orang Maluku terkenal handal dalam bernyanyi. Sejak dahulu pun mereka sudah sering bernyanyi dalam mengiringi tari-tarian tradisional. Tak ayal bila sekarang terdapat banyak penyanyi terkenal yang lahir dari kepulauan ini. Sebut saja para legenda seperti Broery Pesulima, Harvey Malaihollo, Masnait Group dan Yopie Latul. Belum lagi para penyanyi kaliber dunia lainnya seperti Daniel Sahuleka, Ruth Sahanaya, Monica Akihary, Eric Papilaya, Danjil Tuhumena, Romagna Sasabone, Harvey Malaihollo, Glen Fredly, Ello Tahitu, Moluccas dan Dalenz Krinyol serta para rapper yang tergabung dalam grup musik MHC (Molukka Hip-Hop Community) dan para musisi muda berbakat seperti David Manuhutu, Nicky Manuputty, Yudith Ferdinandus, Rhiofaldo Titaley, Figgy Papilaya Dan lain-lain.
Tarian
Tari yang terkenal adalah tari Cakalele yang menggambarkan Tari perang. Tari ini biasanya diperagakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai).
Ada pula Tarian lain seperti Saureka-Reka yang menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang dilakukan oleh enam orang gadis ini sangat membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil diiringi irama musik yang sangat menarik.
Tarian yang merupakan penggambaran pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji dimainkan secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik dan menarik. Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya Maluku. Hal ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme. Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar, dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari oleh masyarakat Maluku sampai sekarang.

Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah Polonaise yang biasanya dilakukan orang Maluku pada saat kawinan oleh setiap anggota pesta tersebut dengan berpasangan, membentuk formasi lingkaran serta melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti setiap orang baik tua maupun muda.

sumber : http://rivanputrawsl.blogspot.com/2012/10/kebudayaan-maluku.html
SUMATERA UTARA (TUGAS 3)                                                                                                                                              








Sosial Budaya Sumatera Utara Sumatera Utara juga dikenal sebagai provinsi multikultural, di dalamnya terdapat etnis dan agama. Selain Batak dan Melayu yang menjadi penduduk asli provinsi ini, ada banyak kelompok etnis lainnya juga yang juga hidup berdampingan. Setidaknya ada 13 suku berkembang di provinsi ini 13 bahasa daerah. Dari semua suku yang ada, sembilan diantaranya adalah suku asli dan empat suku pendatang. Keragaman suku-suku ini belum termasuk Jawa, Cina, dan India yang juga hidup berdampingan bersama mereka. Keberagaman suku tentu diikuti pula oleh mosaik adat istiadat dan nilai-nilai budaya. Keragaman adat istiadat di Sumatera Utara diwarnai oleh adat Batak, Mandailing, Melayu, Karo, Nias, Pesisir, Angkola, Pakpak, dan Simalungun. Perkembangan sosial budaya relatif baik mengingat tingkat kesadaran dan kedewasaan masyarakatnya dalam memahami pluralisme, keragaman budaya, mosaik adat istiadat serta kerukunan antar umat beragama cukup tinggi.Rujukan Sumatera Utara merupakan provinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara pada tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2002, jumlah penduduk Sumatera Utara adalah seramai 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara pada tahun 1990 adalah 143 jiwa per km² dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 165 jiwa per km², sedangkan kadar peningkatan pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun. Kadar Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sumatera Utara setiap tahunnya tidak tetap. Pada tahun 2000 TPAK di daerah ini sebesar 57,34 persen, tahun 2001 naik menjadi 57,70 persen, tahun 2002 naik lagi menjadi 69,45 persen. Suku Bangsa Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias, dan Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Sejak dibukanya perkebunan tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan. Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa. Pusat penyebaran suku-suku di Sumatra Utara, sebagai berikut :

1.Suku Melayu Deli : Pesisir Timur, terutama di kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Langkat.
2. Suku Batak Karo: Kabupaten Karo.
3. Suku Batak Toba: Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir.
 4. Suku Batak Pesisir: Tapanuli Tengah, Kota Sibolga.
5. Suku Batak Mandailing/Angkola: Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas, dan Mandailing Natal.
6. Suku Batak Simalungun: Kabupaten Simalungun.
7. Suku Batak Pakpak: Kabupaten Dairi dan Pakpak Barat.
8. Suku Nias: Pulau Nias.
9. Suku Minangkabau: Kota Medan, Pesisir barat.
10. Suku Aceh: Kota Medan.
11. Suku Jawa: Pesisir Timur & Barat.
12. Suku Tionghoa: Perkotaan Pesisir Timur & Barat. Bahasa Pada dasarnya, bahasa yang dipergunakan secara luas adalah bahasa Indonesia.

Suku Melayu Deli mayoritas menuturkan bahasa Indonesia karena kedekatan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia. Pesisir timur seperi wilayah Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, memakai Bahasa Melayu Dialek "O" begitu juga di Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Di kabupaten Langkat masih menggunakan bahasa Melayu Dialek "E" yang sering juga disebut bahasa Maya-maya. Masih banyak keturunan Jawa Kontrak (Jadel - Jawa Deli) yang menuturkan bahasa Jawa. Di kawasan perkotaan, suku Tionghoa lazim menuturkan bahasa Hokkian selain bahasa Indonesia. Di pegunungan, suku Batak menuturkan bahasa Batak yang terbagi atas 4 logat (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bahasa Nias dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku Nias. Sedangkan orang-orang Pesisir Pantai Barat Sumut, seperti Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah serta Aceh Singkil dan Natal Madina menggunakan Bahasa Pesisir. Agama Agama utama di Sumatra Utara adalah: Islam: terutama dipeluk oleh suku Melayu, suku Mandailing, suku Jawa Kristen (Protestan dan Katolik): terutama dipeluk oleh suku Batak dan suku Nias Hindu: terutama dipeluk oleh keturunan India yang minoritas di perkotaan Buddha: terutama dipeluk oleh suku Tionghoa di perkotaan Konghucu : terutama dipeluk oleh suku Tionghoa di perkotaan Parmalim: dipeluk oleh sebagian suku Batak yang berpusat di Huta Tinggi Animisme: masih ada dipeluk oleh mayoritas suku Batak dan Nias, yaitu Pelebegu Parhabonaron dan kepercayaan sejenisnya. Pendidikan Pada tahun 2005 jumlah anak yang putus sekolah di Sumut mencapai 1.238.437 orang, sementara jumlah siswa miskin mencapai 8.452.054 orang. Dari total APBD 2006 yang berjumlah Rp 2.204.084.729.000, untuk pendidikan sebesar Rp 139.744.257.000, termasuk dalam pos ini anggaran untuk bidang kebudayaan. Jumlah total kelulusan siswa yang ikut Ujian Nasional pada tahun 2005 mencapai 87,65 persen atau 335.342 siswa dari 382.587 siswa tingkat SMP/SMA/SMK sederajat peserta UN . Sedangkan 12,35 persen siswa yang tidak lulus itu berjumlah 47.245 siswa. Perguruan Tinggi Negeri Universitas Sumatera Utara, Medan Universitas Negeri Medan, Medan Politeknik Negeri Medan, Medan Akademi Teknik Dan Keselamatan Penerbangan Medan, Medan Akademi Maritim Belawan, Medan Politeknik Kesehatan Negeri Medan, Medan Kesehatan Secara umum, angka penemuan kasus baru tuberculosis(TBC) di Sumatra Utara mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 kasus TBC diperkirakan berkisar 160/100.000 penduduk. Jika jumlah penduduk Sumatra Utara tercatat 12 juta jiwa, maka penderita TBC di daerah ini sebanyak 19.000. Jumlah penderita HIV/AIDS di Sumatera Utara hingga Oktober 2005 tercatat 301 orang, yakni 26 orang asing dan 276 warga negara Indonesia. Sementara jumlah korban HIV/AIDS yang meninggal dunia hingga Agustus 2005 berjumlah 34 orang. Tenaga Kerja Angkatan Kerja. Pada tahun 2002 angkatan kerja di Sumut mencapai 5.276.102 orang. Jumlah itu naik 4,72% dari tahun sebelumnya. Kondisi angkatan kerja itu juga diikuti dengan naiknya orang yang mencari pekerjaan. Jumlah pencari kerja pada 2002 mencapai 355.467 orang. Mengalami kenaikan 57,82% dari tahun sebelumnya. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Jumlah TPT di Sumut naik dari 4,47% pada 2001 menjadi 6,74% pada 2002. TPT tertinggi terjadi di Kota Medan mencapai 13,28%, diikuti Kota Sibolga (11,71%), Kabupaten Langkat (11,06%), dan Kodya Tebing Tinggi (10,91%). Angkatan Kerja. Penduduk yang tergolong angkatan kerja berjumlah 5,1 juta jiwa. Sekitar 34% berstatus sebagai majikan, bekerja sendiri (20%), dan pekerja keluarga (23%). Skala usaha tergambar pada komposisi yang didominasi oleh usaha kecil sekitar 99,8% dan hanya sekitar 0,2% yang tergolong usaha besar. Pendidikan Pekerja. Tingkat pendidikan sebagian besar tenaga kerja. Pekerja yang berpendidikan tidak tamat sekolah dasar (SD) atau sampai tamat SD mencapai 48,96%. Lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) mencapai 23%. Sedangkan lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) mencapai 24,08%. Sementara itu, lulusan perguruan tinggi hanya 3,95%. Arsitektur Dalam bidang seni rupa yang menonjol adalah arsitektur rumah adat yang merupakan perpaduan dari hasil seni pahat dan seni ukir serta hasil seni kerajinan. Arsitektur rumah adat terdapat dalam berbagai bentuk ornamen.Pada umumnya bentuk bangunan rumah adat pada kelompok adat batak melambangkan "kerbau berdiri tegak". 
Hal ini lebih jelas lagi dengan menghias pucuk atap dengan kepala kerbau. Rumah adat suku bangsa Batak bernama Ruma Batak. Berdiri kokoh dan megah dan masih banyak ditemui di Samosir. Rumah adat Karo kelihatan besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah adat lainnya. Atapnya terbuat dari ijuk dan biasanya ditambah dengan atap-atap yang lebih kecil berbentuk segitiga yang disebut "ayo-ayo rumah" dan "tersek". Dengan atap menjulang berlapis-lapis itu rumah Karo memiliki bentuk khas dibanding dengan rumah tradisional lainnya yang hanya memiliki satu lapis atap di Sumatera Utara. Bentuk rumah adat di daerah Simalungun cukup memikat. Kompleks rumah adat di desa Pematang Purba terdiri dari beberapa bangunan yaitu rumah bolon,balai bolon,jemur,pantangan balai butuh dan lesung. Bangunan khas Mandailing yang menonjol adalah yang disebut "Bagas Gadang" (rumah Namora Natoras) dan "Sopo Godang" (balai musyawarah adat). 
Rumah adat Pesisir Sibolga kelihatan lebih megah dan lebih indah dibandingkan dengan rumah adat lainnya. Rumah adat ini masih berdiri kokoh di halaman Gedung Nasional Sibolga. Tarian Perbendaharaan seni tari tradisional meliputi berbagai jenis. Ada yang bersifat magis, berupa tarian sakral, dan ada yang bersifat hiburan saja yang berupa tari profan. 
Di samping tari adat yang merupakan bagian dari upacara adat, tari sakral biasanya ditarikan oleh dayu-datu. Termasuk jenis tari ini adalah tari guru dan tari tungkat. Datu menarikannya sambil mengayunkan tongkat sakti yang disebut Tunggal Panaluan. Tari profan biasanya ialah tari pergaulan muda-mudi yang ditarikan pada pesta gembira. Tortor ada yang ditarikan saat acara perkawinan. Biasanya ditarikan oleh para hadirin termasuk pengantin dan juga para muda-mudi. Tari muda-mudi ini, misalnya morah-morah, parakut, sipajok, patam-patam sering dan kebangkiung. 
Tari magis misalnya tari tortor nasiaran, tortor tunggal panaluan. Tarian magis ini biasanya dilakukan dengan penuh kekhusukan. Selain tarian Batak terdapat pula tarian Melayu seperti Serampang XII. 
Kerajinan Selain arsitektur,tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian, mendirikan rumah, kesenian,dsb. 
Bahan kain ulos terbuat dari benang kapas atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi kehidupan. Pada suku Pakpak ada tenunan yang dikenal dengan nama oles. Bisanya warna dasar oles adalah hitam kecokelatan atau putih. 
Pada suku Karo ada tenunan yang dikenal dengan nama uis. Biasanya warna dasar uis adalah biru tua dan kemerahan. Pada suku Pesisir ada tenunan yang dikenal dengan nama Songket Barus. Biasanya warna dasar kerajinan ini adalah Merah Tua atau Kuning Emas. Makanan Khas Makanan Khas di Sumatera Utara sangat bervariasi, tergantung dari daerah tersebut. 
Saksang dan Babi panggang sangat familiar untuk mereka yang melaksanakan pesta maupun masakan rumah. Misalkan seperti didaerah Pakpak Dairi, 
Pelleng adalah makanan khas dengan bumbu yang sangat pedas. 
Di tanah Batak sendiri adalah dengke naniarsik yang merupakan ikan yang digulai tanpa menggunakan kelapa. Untuk cita rasa, tanah Batak adalah surga bagi pecinta makanan santan dan pedas juga panas. 
PASITUAK NATONGGI atau uang beli nira yang manis adalah istilah yang sangat akrab disana, menggambarkan betapa dekatnya Tuak atau nira dengan kehidupan mereka.

YOGYAKARTA (TUGAS 4)

YOGYAKARTA (TUGAS 4)













  • Pengertian budaya
 Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka
1. Asal usul kata yogyakarta
Kata ngayogya dari kata dasar yogya yang artinya pantas, baik. Ngayogya artinya menuju cita cita yang baik dan kata artinya aman, sejahtera. Ngayogyakarta artinya mencapai kesejahteraan ( bagi negeri dan rakyatnya). Nama tersebut bukan di ciptakan oleh pendiri keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Pangeran Mangkubumi ( Sulatn Hamengkubuwono I), tetapi di cita- citakan kurang lebih 37 tahun sebelumnya, yakni Paku Buwana I ( Pangeran Puger, adik Amangkurat I), raja ke 2 keraton Kartasura.
2. Aspek sistem agama
Secara kasat mata kita beranggapan bahwa agama tentu saja berbeda dengan budaya. Namun apabila kita pahami lebih dalam maka akan ditemukan beberapa hal yang menyebabkan keduanya sangat berhubungan. Misalnya, keduanya baik agama maupun budaya adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan dalam tatanan masyarakat.
Durkheim, "agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang suci berupa kepercayaan dan prakte-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal."
Dari pengertian tersebut terkandung dua unsur penting, yakni “sifat suci” dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Dalam hal ini Durkheim telah menempatkan agama sebagai suatu alat penghubung dengan masyarakat. Dan apabila telah disinggung mengenai masyarakat, maka tentu saja ada kata budaya dibalik itu. Berikut ini adalah pengertian kebudayaan,
Koentjaraningrat (1980), "merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar." Sehingga tidak diragukan lagi bahwa agama sangat berhubungan dengan budaya.
Bagaimanakah implementasi dari hubungan antara agama dan budaya? Dapat kita lihat dikota Yogyakarta. Sebagai kota pelajar sekaligus kota budaya tentu saja banyak hal yang terekam disini. Berbagai latar belakang masyarakat berkumpul di Yogyakarta. Baik dari segi agama dan kebudayaan tentu saja sangat beragam. Dapat kita lihat beberapa tempat ibadah dari berbagai agama ada dikota ini. Baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, maupun keyakinan lainnya dapat hidup berdampingan. Dapat kita lihat pula bagaimana akulturasi agama dan budaya tercermin dari salah satu situs budayanya, yaitu di Candi Prambanan. Sebagai sebuah candi Hindu ternyata Candi Prambanan dapat berdiri bersama Candi Sewu yang merupakan candi dengan identitas Agama Budha. Hal ini semakin menekankan bahwa solidaritas antar agama dan budaya telah ada sejak zaman kerajaan berlangsung.
Selain itu di Yogyakarta juga terdapat komunitas-komunitas daerah dengan membawa adat dan budaya masing-masing, misalnya komunitas Propinsi Lampung, Propinsi Papua, dan sebagainya. Namun sampai saat ini hampir belum pernah ditemukan adanya perselisihan dengan alasan apapun. Hal ini dikarenakan masyarakat Yogyakarta telah tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat yang sangat terbuka dengan perbedaan apapun. Mereka dapat menerima perbedaan tersebut sebagai bentuk kekayaan nusantara yang wajib dijaga kelestariannya.
Pada kenyataannya agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Karena agama dapat tersampaikan pada manusia atas dasar kebudayaan. Di Yogyakarta dapat kita lihat bagaimana budaya lokalnya sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur agama. Upacara sekaten misalnya, merupakan upacara untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga kita kenal adanya upacara labuhan yang merupakan wujud penghormatan kepada dewa laut yang dibarengi juga dengan mitos masyarakat sekitar laut selatan. Dari kedua contoh tersebut jelas tergambar bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan. Sekaten dengan ritual keislamannya dan labuhan dengan ritual animisme dan dinamismenya. Namun yang harus digarisbawahi dari hal tersebut adalah bahwa upacara-upacara tersebut tidak hanya mengikutsertakan umat agama yang bersangkutan melainkan juga dilaksanakan oleh umat lainnya. Sebab upacara tersebut telah menjadi milik masyarakat Yogyakarta termasuk para pendatang dari luar kota yang telah bermukim di Yogyakarta. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai salah satu kebudayaan yang selalu dilestarikan. Disinilah letak keindahan Yogyakarta, ditengah keberagaman yang ada ternyata tetap dapat menjaga kesatuan dan membina hubungan yang aman dan damai.
Pada prinsipnya, agama tidak dapat merubah suatu budaya setempat. Namun agama dapat menjadi salah satu unsur dari budaya yang berlangsung. Sikap fanatik dan individualitas pada agama tertentu tidak dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan budaya. Agama harus bisa menyesuaikan diri atas kebudayaan yang telah hadir sebelumnya, sebab agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi (Kuntowijoyo:1991). Agama harus bisa menerima perkembangan kebudayaan yang pasti akan terjadi, sebab kebudayaan tidak bersifat statis. Namun agama bisa menjadi filter akan kebudayaan yang berkembang agar tidak terlampau jauh mengikuti budaya asing yang sangat mungkin dapat merusak kebudayaan kita. Peran serta pemerintah, para tokoh agama, para ketua adat sangat berpengaruh demi terciptanya keharmonisan ditengah masyarakat yang beragam ini. Sehingga Bhineka Tunggal Ika tetap menjadi pedoman hidup kita sebagai warga negara Indonesia.
3. Aspek bahasa
Dalam berkomunikasi, bahasa pengantar sehari-hari umumnya masyarakat Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa. Propinsi Yogyakarta merupakan salah satu pusat bahasa dari sastra Jawa seperti bahasa parama sastra, ragam sastra, bausastra, dialek, sengkala serta lisan dalam bentuk dongeng, japamantra, pawukon, dan aksara Jawa
4. Aspek Seni
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak sekali kesenian. Baik itu kesenian budaya seperti tari-tarian ataupun seni kerajinan seperti batik, perak, dan wayang.
1. Batik
Batik adalah salah satu kerajinan khas Indonesia terutama daerah Yogyakarta. Batik yogya terkenal karena keindahannya, baik corak maupun warnanya. Seni batik sudah ada diturunkan oleh nenek moyang, hingga saat ini banyak sekali tempat-tempat khusus yang menjual batik ini. Perajin batik banyak terdapat di daerah pasar ngasem dan sekitarnya.
Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik".
Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 oktober 2009. 
ASPEK  ORGANISASI SOSIAL
  • Stratifikasi Sosial

Stratififikasi sosial atau pelapisan sosial banyak dijumpai di berbagai kelompok masyarakat. Ukuran stratifikasi sosial atau perbedaan status kelompok-kelompok masyarakat berbeda satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan ukuran kekayaan, pendidikan, darah bangsawan, atau kekuasaan dan lain sebagainya. Dengan adanya stratifikasi ini telah terlihat jelas besarnya pengaruh suatu kelompok maka semakin tinggi kedudukannya dalam masyarakan dan sebaliknya.
Pada masyarakat pedesaan di kota Yogyakarta, kekayaan tidak mendasari adanya stratifikasi sosial ini. Orang-orang yang dianggap memiliki kedudukan yang tinggilah yang dianggap orang yang memiliki kelebihan, misalnya kelompok pegawai pemerintahan. Di berbagai kegiatan dan dan jabatan pemerintah biasanya dipegang oleh kelompok ini. Kepala desa dan sekertaris desa, dan pengurus organisasi sosial biasanya dijabat oleh orang yang berpendidikan perguruan tinggi.
Lapisan lain yang mendapatkan posisi yang tinggi adalah pamong desa. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari antara pamong desa dan rakyatnya. Dalam suatu pembicaraan biasanya kepala desa menggunakan bahasa Jawa Ngoko, atau seandainya menggunakan bahasa Jawa Kromo pun masih dicampur dengan bahasa Jawa Ngoko. Sedangkan rakyat yang diajak berbicara biasanya menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil. Hal ini juga nampak jelas pada waktu ada pesta perkawinan, kepala desa menempati tempat yang sudah ditentukan yaitu kursi barisan paling depan.
Apabila ditinjau dari segi kepemilikan tanah, maka kelompok pamong desa merupakan lapisan paling atas. Kelompok ini tidah hanya memiliki tanah garapan sendiri tetapi juga memiliki tanah bengkok. Kelompok karangkopek atau kelompok lapisan bawah yang tidak memiliki tanah garapan hanya memiliki pekarangan saja. Sedangkan lapisan paling bawah adalah para pemilik tanah sempit atau sama sekali tidak memiliki tanah.
B.   IkiI katan Kekerabatan
Pada umunya sistem kekerabatan penduduk desa berdasarkan prinsip bilateral seperti umumnya yang terdapat pada orang Jawa. Dalam satu keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang belum menikah atau disebut keluarga inti. Namun, ada juga bentuk keluarga luar yaitu unit keluarga yang terdiri dari keluarga inti ditambah dengan anak yang sudah menikah atau ada saudara lain yang ikut dalam keluarga itu.
Ikatan kekerabatan yang kuat pada seseorang biasanya ditandai dengan saling mengunjungi dan saling membantu. Istlah yang digunakan pun umumnya sama seperti menyebut saudara dari pihak ayah atau ibu menggunakan istilah bulik, budhe, pakdhe atau paklik. Bahasa yang digunakan pun berbeda, bahasa yang digunakan anak untuk berbicara terhadap orang tua nya menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil.
  • Kelompok Annisa

Kelompok Annisa adalah sebuah Organisasi Sosial (Orsos) yang bergerak dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penyedia layanan serta pemberdayaan ekonomi bagi perempuan korban. Organisasi Sosial yang beranggotakan para perempuan ini didirikan pada 28 Oktober 2004 di desa Karang Tengah, Kec. Wonosari, Kab. Gunungkidul, DI. Yogyakarta. Orsos Annisa bercita-cita membangun kehidupan masyarakat yang tidak mentolerir kekerasan terhadap perempuan dan anak. Untuk mencapai cita-cita tersebut Annisa melakukan berbagai aktifitas diantaranya adalah; kampanye dan sosialisasi anti perdagangan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak; monitoring, mendampingi dan merujukkan perempuan dan anak korban kekerasan; mencerdaskan masyarakat melalui pendirian Taman Bacaan; pemberdayaan ekonomi kelompok dan perempuan korban kekerasan; serta membangun jaringan dengan berbagai elemen pemerintah dan masyarakat untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
  • Kelompok Ngudi Lestarining Budi

Kelompok Ngudi Lestarining Budi (KNLB) adalah sebuah wadah perkumpulan laki-laki dan perempuan yang memiliki kepedulian terhadap persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. KNLB berdiri atas prakarsa para tokoh masyarakat, aparat desa, tokoh agama dan komunitas di desa Ngawu, Kec. Playen, Kab. Gunungkidul, Yogyakarta. KNLB yang juga berfungsi sebagai Community Base Cricis Center ini bercita-cita menciptakan lingkungan masyarakat yang damai tanpa kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam mencapai tujuannya KNLB melakukan upaya monitoring, mendampingi dan merujukkan perempuan dan anak korban kekerasan, serta kampanye anti perdagangan perempuan dan anak.
  • Kelompok HUMA (Hurriyah Ma`isyah)

Kelompok Hurriyah Ma’isyah yang berarti kemerdekaan penghidupan ini berdiri sejak tahun 2004, namun secara resmi dideklarasi pada bulan Oktober 2005. Huma berdiri dengan konsep awal sebagai Comunity Based Crisis Center (CBCC) yang melingkupi wilayah kelurahan Cokrodiningratan kota Yogyakarta. Program organisasi Huma salah satunya adalah melakukan monitoring, pendampingan dan memberikan rujukan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah Cokrodiningratan.
  • Kelompok Perempuan Karangsewu

Organisasi perempuan Karangsewu ada sejak tahun 2005, diawali dari perjuangan perempuan pedesaan untuk mempertahankan lahan pertanian yang akan di gusur. Organisasi perempuan Karangsewu bertujuan mewujudkan ruang-ruang demokrasi bagi perempuan pedesaan. Organisasi ini juga memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan melakukan monitoring, pendampingan dan memberikan rujukan terhadap kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
ASPEK KEPERCAYAAN
Bagi masyarakat Yogyakarta kepercayaan terhadap agama merupakan suatu yang tidak di tinggalkanya. Bahkan Sultan mereka mendapat gelar dan predikat panotogomo yang berarti pengatur dan pelindung agama. Sejalan dengan itu di Yogyakarta setiap aliran agama, yang mendapat pegakuan dari pemerintah,  bebas dan berhak mengembagkan ajaran-ajaran yang dipercayainya. Di daerah ini agama-agama yang paling banyak penganutnya ialah agama Islam, Kristen, baik Katholik maupun Protestan, Hindu dan Budha. Adanya kebebasan untuk menyebarkan ajaran-ajaranya, memberi kemungkinan kepada kelompok agama-agama untuk mendirikan tempat-tempat ibadah mereka, malah pembangunan tempat ibadah-ibadah mereka selalu mendapat bantuan dari pemerintaah, baik pusat maupun daerah. Kegiatan untuk itu tidak jarang dilaukan secara bersama, bahkan dari agama lainya. Sehubungan dengan itu pada tahun 1952 jumlah masjid yang berada di daerah Yogyakarta  sebanyak 496 buah, langgar 3015 buah, sedangkan geraja sebanyak 64 buah. Keadaan ini tentu telah berubahan, dalam arti kata jumlahnya sampai sekarang makin bertambah banyak. Di Yogyakarta ada beberapa tempat ibadah yang cukup terkenal karena bentuknya yang menarik, seperti masjid besar di komplek kraton dan greja Katholik di Kota Baru. Sejak dulu daerah Yogyakarta merupakan tempat subur bagi pertumbuhan aliran-aliran kebatinan. Pada tahun 1952 di Gunung Kidul terdapat 4 buah organisasi kebatinan, di Bantul 21 buah, di Sleman 3 buah, di Kulon Progo terdapat 4 buah dan di Yogyakarta 4 buah. Besar dari setiap anggota organisasi kebatinan itu berbeda jumahnya tetapi jumlahnya berkisar dari puluhan orang sampai ribuan orang.
Dewasa ini aliran kebatinan termasuk apa yang disebut kepercayaan makin mendapat tempat di masyarakat oleh arena adanya kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan dirinya. Mereka sudah mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, dan setiap tahun pada tagggal 1 suro mereka merayakan hari besar mereka. Juga sebagaimana agama lainya, aliran kepepercayaan ini telah mendapat hak untuk menyebarkan ajaranya melalui media masa resmi pemerintah seperti televisi. 
ASPEK TEKNOLOGI
Pada era informasi saat ini peran dan manfaat teknologi informasi dan komunikasi semakin strategis dan mulai menguasai kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun organisasi. Pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi berlangsung cepat.
Penggunaan teknologi informasi dalam suatu sistem elektronik adalah penggunaan sistem komputer secara luas. Sistem ini adalah suatu sistem yang terpadu antara manusia dan mesin yang mencakup perangkat keras, perangkat lunak, prosedur standar, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang mencakup fungsi input, proses, output dan penyimpanan.
Pengelolaan data pertanahan dengan menggunakan teknologi informasi merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan hal ini berkaitan dengan karakteristik data pertanahan itu sendiri yang bersifat multidimensi yang terkait dengan masalah ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan dan sosial budaya.
Pengelolaan data pertanahan itu sendiri harus terintegrasi suatu Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional yang mengalirkan informasi antar seluruh unit organisasi baik di tingkat Kantor Pusat, Kantor Wilayah, dan Kantor Pertanahan. Disamping sifat data pertanahan tersebut, juga pengelolaan pertanahan secara elektronik ini untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin meningkat yang terkait dengan keterbukaan informasi untuk masyarakat.
Pada hari Sabtu, 10 Maret 2007 dengan mengambil tempat di gedung Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), Jl. Cendana 15 Yogyakarta, diselenggarakan seminar sehari tentang Nilai Budaya Jawa di Yogyakarta. Seminar ini diselengarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dan Dewan Kebudayaan Propinsi DIY. Seminar itu sendiri dilakukan dalam rangka inventarisasi tatanilai budaya Jawa untuk menentukan kebijakan kebudayaan di wilayah Propivinsi DIY yang akan menjadi bahan atau materi dalam Penyusunan Materi Draft Tata Nilai Budaya Jawa di Yogyakarta. Demikian seperti yang dikatakan oleh Ketua Pelaksana seminar, Prof. Dr. Djoko Surjo. Seminar diikuti oleh sekitar 50-an peserta. Ada pun peserta seminar di antaranya terdiri dari anggota DPRD DIY, Dewan Kebudayaan DIY, dewan-dewan kebudayaan kabupaten, wakil perguruan tinggi, pemuka agama, sastrawan, budayawan, pemuka masyarakat, dan lain-lain. Sasaran dari penyelenggaraan seminar adalah untuk memperoleh masukan materi tata nilai budaya Jawa untuk meningkatkan strategi pembangunan khususnya di bidang kebudayaan.
ASPEK SISTEM PENGETAHUAN
Dalam kacamata demokrasi kaum muda hirarki normatif Jawa dipandang sebagai sikap feodal yang menghambat demokratisasi dan bertentangan dengan prinsip persamaan/egalitarian yang menjadi pilar utama demokrasi. Perbedaan cara pandang yang diametral ini diakibatkan oleh perbenturan tata nilai lama dengan unsur-unsur budaya baru yang secara substansial berbeda titik berangkatnya, yakni pola pikir Jawa yang normatif karena kuatnya prinsip menjaga harmoni berhadapan dengan budaya baru yang lebih berorientasi pada pencapaian hasil secara kuantitatif.
Etika Jawa yang semula sangat humanis mengalahkan kepentingan materi, ambisi pribadi, dan gejolak hawa nafsu yang semuanya itu terabadikan dalam berbagai petuah dan pepatah serta tergambarkan dalam tokoh-tokoh pewayangan, telah tergantikan oleh perilaku budaya yang sangat konsumtif, hedonis, dan materialistik. Berkaitan dengan kondisi seperti itu perlu dilakukan langkah strategis untuk memasyarakatkan nilai-nilai budaya Jawa, yakni: dengan sosialisasi (melalui pendidikan, kelompok budaya, desa budaya, kelompok masyarakat/organisasi, dan sebagainya); kajian/penelitian dan pengembangan (historis, filosofis, implementatif); regulasi/hukum (perlindungan terhadap situs budaya, kreasi budaya, perangkat budaya), pengaturan/seleksi tempat hiburan; publikasi.
ASPEK MATA PENCAHARIAN
karena budaya Jawa dianggap sebagai sesuatu yang penting, berharga, dan diprioritaskan sehingga sebagian warga masyarakat Jawa terlalu membanggakan tanpa reserve. Sikap demikian itu membuat mereka tidak lagi kritis dan tidak lagi bisa melihat adanya nilai-nilai negatif yang ada di dalam budaya Jawa yang mungkin tidak lagi berguna. Oleh karenanya perlu dikemukakan beberapa langkah atau skenario dalam mengaplikasikan budaya Jawa-Yogyakarta yang bernilai positif dalam membangun manusia sebagai sistem sosial.
Langkah itu di antaranya dengan memasyarakatkan ungkapan-ungkapan yang dapat dimanifestasikan ke perilaku seperti memasyarakatkan ungkapan Hamemayu Hayuning Bawana yang dapat diperinci sebagai Rahayuning Bawana Kapurba Wasesaning Manungsa 'kelestarian dunia lebih dipengaruhi oleh kebijaksanaan manusia'. Darmaning Satriya Mahanani Rahayuning Nagara 'darma bakti kesatria mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan negara'. Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane 'keselamatan dan kesejahteraan manusia terwujud karena perikemanusiannya'. Ungkapan lainnya adalah Asih ing Sesami 'mencintai sesama' yang sepi ing pamrih rame ing gawe; falsafah Golong Gilig (menyatunya pemimpin-kawula, Tuhan dan umat-Nya); falsafah Sawiji (orang harus selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa), Greget (seluruh aktivitas dan gairah/semangat hidup harus disalurkan melalui jalan Tuhan Yang Maha Esa), Sengguh (bangga diciptakan sebagai makhluk sempurna naun tidak boleh sombong), Ora Mingkuh (meskipun banyak mengalami banyak kesukaran dan hambatan dalam hidup, namun tetap dijalani dengan penuh tanggung jawab, dilandasi selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Adil, Penyayang, dan Pengasih).
Membicarakan budaya Jawa-Yogyakarta tentu tidak bisa lepas dari keberadaan Keraton Yogyakarta sebagai cikal bakal pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan yang sarat dengan nilai filosofi. Pemahaman, penghayatan, dan pengamalan dasar falasafah budaya asli Yogyakarta seperti Hamemayu Hayuning Bawono, Golong Gilig, Sewiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh, Hamengku,  Hamangku, dan Hamengkoni di dalam aplikasinya diperlukan payung hukum yang harus disosialisasikan sampai ke lapisan masyarakat yang paling bawah di DIY. Perlu melakukan pemilihan dan pemilahan terhadap nilai-nilai budaya Jawa yang masih relevan sebagai faktor pemersatu dan pendorong pembangunan di DIY dalam segala bidang. Perlu dilakukan reinventarisasi, reinterpretasi, revitalisasi, dan pemberian ruh baru terhadap nilai-nilai budaya Jawa yang baik tetapi sudah tidak lagi relevan dengan zamannya. Yogyakarta dengan keunggulan aset budayanya sebagai factor endowments sangat potensial dikembangkan dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku pariwisata sehingga keuntungan yang diperoleh tidak hanya dari sisi ekonomi namun juga keuntungan di bidang budaya.
TAMBAHAN
          Badai krisis ekonomi pada tahun 1997 telah mengecilkan pencapaian prestasi pembangunan nasional pada umumnya dan penurunan angka kemiskinan yang mencapai 40% dari total penduduk Indonesia. Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin mencapai 17,2% (37,4 juta jiwa) dari total penduduk Indonesia yang mencapai 214 juta jiwa (Feb.2003). Hingga 2004, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 36,1 juta jiwa atau setara dengan 16,66% dari jumlah penduduk Indonesia. Daerah padat penduduk seperti di Jawa Tengah, Daerah Istemewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat termasuk yang angka kemiskinannya tinggi. Karena jumlah penduduknya padat maka secara absolut jumlah penduduk miskinnya juga tinggi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 ini, 62 juta jiwa dan di Jawa Tengah, 3,17 Juta keluarga dinyatakan miskin. Jumlah penduduk miskin yang ada di Kota Semarang pada tahun 2004 berjumlah 79 ribu jiwa.
Hingga bulan Februari 2006, menurut data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta, jumlah keluarga miskin (gakin) menembus angka 31.367 Kepala Keluarga dari jumlah total 81.859 KK yang ada. Sederhananya, 3 dari 10 orang penduduk Yogyakarta tergolong miskin. Kelurahan Prawirodirjan, Pringgokusuman, Bener, dan Kricak termasuk daerah dengan penduduk miskin mencapai 30 persen dari seluruh penduduknya. Persentase penduduk miskin di 41 kelurahan lainnya umumnya kurang dari sepertiganya, dengan porsi bervariatif. Angka ini merupakan turunan dari kriteria kemiskinan yang tertera di Peraturan Walikota Yogyakarta No. 39/2005 tentang penetapan parameter kemiskinan Kota Yogyakarta.
Sementara itu, jumlah penerima beras miskin (raskin) di Kota Yogyakarta ada 22.719 gakin. Jumlah gakin di kota gudeg ini lebih kecil lagi jika merujuk data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap I yakni 13.354 gakin, yang kriterianya mengacu Badan Pusat Statistik (BPS).         Sebagian besar masyarakat miskin di kota gudeg ini mayoritas bekerja di sektor informal. Ada pedagang kaki lima, tukang becak, pemulung, sampai pengamen. Peta sederhana tentang persebaran warga kota yang berprofesi pekerja sektor informal di sejumlah kampung di daerah Timoho dan daerah di pinggiran Sungai Gajah Wong dan Sungai Code. Jika menengok ke sejarah asal mula dan pertumbuhan kampung di Kota Yogya, banyak kampung seperti Timoho dan pinggiran Sungai Gajah Wong muncul seiring dengan gelombang awal urbanisasi, setidaknya sejak dekade 1970-an sampai 1980-an.
Untuk mendefinisikan kemiskinan, Pemerintah Pusat membuat kriterium berdasarkan beberapa pendekatan. Seperti yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), pemerintah memaknai kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya guna mempertahankan dan mengembangkan kehidupan secara bermartabat. Pendekatan yang digunakan meliputi: basic needs (menekankan ketakmampuan memenuhi kebutuhan dasar sebagai sumber kemiskinan); income poverty (menekankan tiadanya kepemilikian aset dan alatn produksi), basics capabilitiy (menekankan keterbatasan kemampuan dasar untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat); social welfare (tekankan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan); serta subjective (cara pandang kemiskinan dari sudut orang miskin pandangan orang miskin sendiri).
Menurut Suparlan, P. (1995), disusun beberapa indikator diantaranya: akses dan mutu pendidikan yang rendah; kesempatan kerja dan berusaha yang terbatas; ketersediaan perumahan dan sanitasi yang minim; lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; lemahnya jaminan rasa aman; lemahnya partisipasi; hingga besarnya beban kependudukan akibat dari besarnya tanggungan keluarga berikut  tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Dari definisi yang global ini, pemerintah Kota Yogyakarta lalu menurunkannya dalam definisi keluarga miskin. Merujuk pada pasal 1 PP No. 42 Tahun 1981, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Peraturan Walikota Yogyakarta No. 39/2005 memaknai keluarga miskin sebagai :
”…orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan.
Menurut data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta (2006), yang bersifat penyelamatan ini misalnya raskin atau Program Beras Untuk Keluarga Miskin. Raskin diorientasikan sebagai bantuan kesejahteraan sosial atau bantuan perlindungan sosial bagi keluarga miskin. Raskin juga ditujukan untuk menjaga daya tahan pangan gakin agar tetap mampu membeli beras. Programnya berupa penjualan beras murah sebanyak 20 kg/bulan dengan harga Rp 1000/kg. Untuk DIY, melalui SK Gubernur No. 33/2003, Sultan menetapkan 10 kg/keluarga. Contoh bantuan langsung lainnya adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai). BLT merupakan kompensasi pemerintah kepada masyarakat miskin atas dicabutnya subsidi BBM. Dengan BLT, diharapkan keluarga miskin tetap bisa mempertahankan daya belinya. Dan masih banyak lagi skema bantuan dari pusat yang sifatnya langsung.
Munculnya program seperti BLT ataupun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan. Pihak kota lebih sepakat dengan program penanggulangan kemiskinan yang sifatnya memberdayakan ekonomi masyarakat. Fokusnya bukan perseorangan seperti BLT, melainkan kelompok masyarakat. Selain menjalankan program yang berasal dari pusat, baik yang didanai dari APBN maupun bank Dunia, Pemkot juga tengah melaksanakan program yang murni diinisiasi sendiri.
Dipaparkan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta (2006), beberapa program yang kini dijalankan antara lain: Program Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki Lima.
Merujuk Peraturan Walikota Yogyakarta No. 10/2005 tentang Penjabaran APBD tahun anggaran 2005, program yang bernuansa penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta tersebar di berbagai instansi. Di dinas Perekonomian, ada bantuan keuangan kepada PKL sebesar Rp 750.000.000. Di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi ada pelatihan keterampilan tenaga kerja. Dan Dinas Kesejahteraan Sosial memiliki bantuan keuangan kepada penyandang rehabilitasi dan masalah sosial yang mencakup bantuan pembinaan USEP KM sebesar Rp 14.500.000, bantuan pengembangan USEP KM sebesar 13.200.000.
Meski terfokus pada program yang sifatnya memberdayakan ekonomi, kota tetap menjalankan program-program yang sifatnya “penyelamatan”. Ada bantuan beasiswa sekolah, subsidi pelayanan kesehatan, atau yang paling nyata berupa santunan dan perlindungan terhadap warga kota yang terlantar seperti anak jalanan, gelandangan dan pengemis, serta manula. Peraturan Walikota No. 10/2005 juga menggagarkan untuk Dinas Kesehatan berupa bantuan premi gakin sebesar Rp 1. 229.700.000. Lalu untuk Dinas Pendidikan dan Pengajaran berupa pengembangan SDM yang mencakup beasiswa, bantuan tugas belajar, ikatan dinas sebesar 97.000.000, biaya bantuan pelatihan dan kursus keterampilan sebesar Rp 45.000.000. Bantuan pembinaan rentan anak jalanan dan anak jalanan sebesar Rp 108.300.000 dan bantuan untuk fasilitasi dan rehabilitasi sosial sebesar Rp 15.000.000.
Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Menurut Adams Charles, (1993), seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan (Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta; 2006).
BUDAYA UPACARA
1.     Upacara gerebeg dan sekaten
         Upacara gerebeg maulud tidak bisa dilepaskan dengan perayaan sekaten sebagai tradisi keagamaan yang berlangsung dari tanggal 5 sampai 12 rabiulawal, upacara sekaten ialah upacara tradisional yang berkaitan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara ini secara periodik diselenggarakan oleh pihak kraton kasultanan Yogyakarta setahun sekali dengan penyelenggaraan upacara gerebeg maulud.
Upacara sekaten ini berawal dari kerajaan demak dengan raden patah sebagai rajanya yang pertama. Agar menarik perhatian masyarakat, maka selama sekaten dibunyikan dua gamelan Nyai dan Kyai Sekati dengan gending 16 macam gubahan para wali.
Perayaan sekaten ini akhirnya ditetapkan menjadi suatu tradisi resmi sejak kerajaan islam pindah dari demak ke pajang, dari pajang ke mataram lalu ke Surakarta dan Yogyakarta. Untuk Yogyakarta dua gamelan ini disebut dengan nama kyai gunturmadu dan kyai nagawilaga yang ditempatkan di bangsal pagongan.
Dan sekarang upacara gerebeg dan sekaten merupakan penunjang pariwisata di Yogyakarta khususnya dalam bidang kebudayaan, karena banyak wisatawan lokal dan asing banyak datang untuk menyaksikan upacara adat ini.
2.      Upacara kehamilan dan kelahiran
a.       Upacara ngebor-ngebori
Ngebor-ngebori adalah selamatan yang dilakukan pertama kali pada saat kehamilan satu bulan. Selamatan ini hanya berbentuk membuat sesaji, sesaji ini terdiri dari air yang dilengkapi dengan bunga setaman dan jenang abor abor, yaitu semacam jenang sungsum tetapi tanpa juruh.
b.      Upacara nglimani
Nglimani adalah selamatan yang dilakukan pada saat bayi berusia lima bulan dalam kandungan. Selamatan nglimani ini dilakukan secara besar, yakni ada kenduri dan sesaji, sesaji pada saat nglimani ini selalu berupa 5 macam antara lain ketupat 5 buah,  jenang 5 macam (jenang bekatul, merah, putih, merah putih, baro-baro), rujak-rujakan 5 macam ( rujak madu, degan, tape, nanas, jambu), sambal 5 macam (sambal goreng, tempe, wijen, jagung  dan  kacang), tumpeng 5 macam dan telur  5 buah  selain itu sesaji ini ditambah dengan gudeg, sayur  ketok (sayur gurih yang bahannya merupakan tempe, kluwih, waluh), jublek, gudangan, ingkung ayam, lalaban dan ditambah dengan daging dan jajanan pasar. Nglimani ini bertujuan untuk memohon keselamatan pada tuhan dan leluhurnya agar ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan selamat.
c.       Upacara Mitoni
Mitoni adalah selamatan yang dilakukan pada saat bayi berumur tujuh bulan dalam kandungan, upacara ini bahkan dilakukan cukup meriah bagi mereka yang mampu dan berkelebihan. Menurut kepercayaan penduduk gadingharjo, janin yang berumur 7 tujuh bulan itu sudah menjadi bayi yang sudah siap lahir ke dunia. Upacara mitoni ini di desa gadingharjo dibedakan menjadi 2 macam yaitu mitoni untuk wanita yang hamil pertama kali dan wanita yang hamil kedua dan seterusnya, bagi wanita yang hamil pertama upacara mitoni dilakukan dengan upacara siraman, sedang wanita yang hamil kedua dan seterusnya hanya dibuatkan selamatan kenduri. Secara umum tujuan dari mitoni ini adalah agar waktu melahirkan kelak si ibu dan anak dalam keadaan selamat dan sehat wal afiat.
d.      Upacara penanaman ari-ari

Pada waktu menanam ari ari di tanah tidak ada upacara khusus akan tetapi ada tata cara/adat istiadat tersendiri yang sangat sacral, caranya adalah pertama kali ari ari dicuci bersih oleh dukun atau bapak dari si bayi, setelah itu dimasukkan dalam suatu tempat dan dikuburkan di dalam tanah.