Budaya
adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra
yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang
memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
"individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan
alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang
brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai
perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat
dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka
1.
Asal usul kata yogyakarta
Kata
ngayogya dari kata dasar yogya yang artinya pantas, baik. Ngayogya artinya
menuju cita cita yang baik dan kata artinya aman, sejahtera. Ngayogyakarta
artinya mencapai kesejahteraan ( bagi negeri dan rakyatnya). Nama tersebut
bukan di ciptakan oleh pendiri keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Pangeran
Mangkubumi ( Sulatn Hamengkubuwono I), tetapi di cita- citakan kurang lebih 37
tahun sebelumnya, yakni Paku Buwana I ( Pangeran Puger, adik Amangkurat I),
raja ke 2 keraton Kartasura.
2.
Aspek sistem agama
Secara
kasat mata kita beranggapan bahwa agama tentu saja berbeda dengan budaya. Namun
apabila kita pahami lebih dalam maka akan ditemukan beberapa hal yang
menyebabkan keduanya sangat berhubungan. Misalnya, keduanya baik agama maupun
budaya adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam
setiap kali ada perubahan dalam tatanan masyarakat.
Durkheim,
"agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan
yang berkaitan dengan hal-hal yang suci berupa kepercayaan dan prakte-praktek
yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal."
Dari
pengertian tersebut terkandung dua unsur penting, yakni “sifat suci” dan
“praktek-praktek ritual” dari agama. Dalam hal ini Durkheim telah menempatkan
agama sebagai suatu alat penghubung dengan masyarakat. Dan apabila telah
disinggung mengenai masyarakat, maka tentu saja ada kata budaya dibalik itu.
Berikut ini adalah pengertian kebudayaan,
Koentjaraningrat
(1980), "merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar." Sehingga tidak diragukan lagi bahwa agama sangat
berhubungan dengan budaya.
Bagaimanakah
implementasi dari hubungan antara agama dan budaya? Dapat kita lihat dikota
Yogyakarta. Sebagai kota pelajar sekaligus kota budaya tentu saja banyak hal
yang terekam disini. Berbagai latar belakang masyarakat berkumpul di
Yogyakarta. Baik dari segi agama dan kebudayaan tentu saja sangat beragam.
Dapat kita lihat beberapa tempat ibadah dari berbagai agama ada dikota ini.
Baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, maupun keyakinan lainnya dapat
hidup berdampingan. Dapat kita lihat pula bagaimana akulturasi agama dan budaya
tercermin dari salah satu situs budayanya, yaitu di Candi Prambanan. Sebagai
sebuah candi Hindu ternyata Candi Prambanan dapat berdiri bersama Candi Sewu
yang merupakan candi dengan identitas Agama Budha. Hal ini semakin menekankan
bahwa solidaritas antar agama dan budaya telah ada sejak zaman kerajaan
berlangsung.
Selain
itu di Yogyakarta juga terdapat komunitas-komunitas daerah dengan membawa adat
dan budaya masing-masing, misalnya komunitas Propinsi Lampung, Propinsi Papua,
dan sebagainya. Namun sampai saat ini hampir belum pernah ditemukan adanya
perselisihan dengan alasan apapun. Hal ini dikarenakan masyarakat Yogyakarta
telah tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat yang sangat terbuka dengan
perbedaan apapun. Mereka dapat menerima perbedaan tersebut sebagai bentuk
kekayaan nusantara yang wajib dijaga kelestariannya.
Pada
kenyataannya agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Karena agama dapat
tersampaikan pada manusia atas dasar kebudayaan. Di Yogyakarta dapat kita lihat
bagaimana budaya lokalnya sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur agama. Upacara
sekaten misalnya, merupakan upacara untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Selain itu juga kita kenal adanya upacara labuhan yang merupakan wujud
penghormatan kepada dewa laut yang dibarengi juga dengan mitos masyarakat
sekitar laut selatan. Dari kedua contoh tersebut jelas tergambar bahwa agama
merupakan bagian dari kebudayaan. Sekaten dengan ritual keislamannya dan
labuhan dengan ritual animisme dan dinamismenya. Namun yang harus digarisbawahi
dari hal tersebut adalah bahwa upacara-upacara tersebut tidak hanya
mengikutsertakan umat agama yang bersangkutan melainkan juga dilaksanakan oleh
umat lainnya. Sebab upacara tersebut telah menjadi milik masyarakat Yogyakarta
termasuk para pendatang dari luar kota yang telah bermukim di Yogyakarta.
Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai salah satu kebudayaan yang selalu
dilestarikan. Disinilah letak keindahan Yogyakarta, ditengah keberagaman yang
ada ternyata tetap dapat menjaga kesatuan dan membina hubungan yang aman dan
damai.
Pada
prinsipnya, agama tidak dapat merubah suatu budaya setempat. Namun agama dapat
menjadi salah satu unsur dari budaya yang berlangsung. Sikap fanatik dan
individualitas pada agama tertentu tidak dibutuhkan untuk menciptakan
masyarakat yang sadar akan budaya. Agama harus bisa menyesuaikan diri atas
kebudayaan yang telah hadir sebelumnya, sebab agama dan budaya adalah dua hal
yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi (Kuntowijoyo:1991). Agama
harus bisa menerima perkembangan kebudayaan yang pasti akan terjadi, sebab kebudayaan
tidak bersifat statis. Namun agama bisa menjadi filter akan kebudayaan yang
berkembang agar tidak terlampau jauh mengikuti budaya asing yang sangat mungkin
dapat merusak kebudayaan kita. Peran serta pemerintah, para tokoh agama, para
ketua adat sangat berpengaruh demi terciptanya keharmonisan ditengah masyarakat
yang beragam ini. Sehingga Bhineka Tunggal Ika tetap menjadi pedoman hidup kita
sebagai warga negara Indonesia.
3.
Aspek bahasa
Dalam
berkomunikasi, bahasa pengantar sehari-hari umumnya masyarakat Yogyakarta
menggunakan bahasa Jawa. Propinsi Yogyakarta merupakan salah satu pusat bahasa
dari sastra Jawa seperti bahasa parama sastra, ragam sastra, bausastra, dialek,
sengkala serta lisan dalam bentuk dongeng, japamantra, pawukon, dan aksara Jawa
4.
Aspek Seni
Daerah
Istimewa Yogyakarta memiliki banyak sekali kesenian. Baik itu kesenian budaya
seperti tari-tarian ataupun seni kerajinan seperti batik, perak, dan wayang.
1.
Batik
Batik
adalah salah satu kerajinan khas Indonesia terutama daerah Yogyakarta. Batik
yogya terkenal karena keindahannya, baik corak maupun warnanya. Seni batik
sudah ada diturunkan oleh nenek moyang, hingga saat ini banyak sekali
tempat-tempat khusus yang menjual batik ini. Perajin batik banyak terdapat di
daerah pasar ngasem dan sekitarnya.
Kata
"batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba",
yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna
"titik".
Batik
adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu
pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan
malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur
internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua
adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan
motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai
keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang
terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya
Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of
Humanity) sejak 2 oktober 2009.
ASPEK ORGANISASI SOSIAL
Stratififikasi
sosial atau pelapisan sosial banyak dijumpai di berbagai kelompok masyarakat.
Ukuran stratifikasi sosial atau perbedaan status kelompok-kelompok masyarakat
berbeda satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan ukuran kekayaan,
pendidikan, darah bangsawan, atau kekuasaan dan lain sebagainya. Dengan adanya
stratifikasi ini telah terlihat jelas besarnya pengaruh suatu kelompok maka
semakin tinggi kedudukannya dalam masyarakan dan sebaliknya.
Pada
masyarakat pedesaan di kota Yogyakarta, kekayaan tidak mendasari adanya
stratifikasi sosial ini. Orang-orang yang dianggap memiliki kedudukan yang
tinggilah yang dianggap orang yang memiliki kelebihan, misalnya kelompok
pegawai pemerintahan. Di berbagai kegiatan dan dan jabatan pemerintah biasanya
dipegang oleh kelompok ini. Kepala desa dan sekertaris desa, dan pengurus
organisasi sosial biasanya dijabat oleh orang yang berpendidikan perguruan
tinggi.
Lapisan
lain yang mendapatkan posisi yang tinggi adalah pamong desa. Hal ini dapat
dilihat dalam kehidupan sehari-hari antara pamong desa dan rakyatnya. Dalam
suatu pembicaraan biasanya kepala desa menggunakan bahasa Jawa Ngoko, atau
seandainya menggunakan bahasa Jawa Kromo pun masih dicampur dengan bahasa Jawa
Ngoko. Sedangkan rakyat yang diajak berbicara biasanya menggunakan bahasa Jawa
Kromo Inggil. Hal ini juga nampak jelas pada waktu ada pesta perkawinan, kepala
desa menempati tempat yang sudah ditentukan yaitu kursi barisan paling depan.
Apabila
ditinjau dari segi kepemilikan tanah, maka kelompok pamong desa merupakan
lapisan paling atas. Kelompok ini tidah hanya memiliki tanah garapan sendiri
tetapi juga memiliki tanah bengkok. Kelompok karangkopek atau kelompok lapisan
bawah yang tidak memiliki tanah garapan hanya memiliki pekarangan saja.
Sedangkan lapisan paling bawah adalah para pemilik tanah sempit atau sama
sekali tidak memiliki tanah.
B. IkiI katan Kekerabatan
Pada
umunya sistem kekerabatan penduduk desa berdasarkan prinsip bilateral seperti
umumnya yang terdapat pada orang Jawa. Dalam satu keluarga biasanya terdiri
dari ayah, ibu, dan anak yang belum menikah atau disebut keluarga inti. Namun,
ada juga bentuk keluarga luar yaitu unit keluarga yang terdiri dari keluarga
inti ditambah dengan anak yang sudah menikah atau ada saudara lain yang ikut
dalam keluarga itu.
Ikatan
kekerabatan yang kuat pada seseorang biasanya ditandai dengan saling
mengunjungi dan saling membantu. Istlah yang digunakan pun umumnya sama seperti
menyebut saudara dari pihak ayah atau ibu menggunakan istilah bulik, budhe,
pakdhe atau paklik. Bahasa yang digunakan pun berbeda, bahasa yang digunakan
anak untuk berbicara terhadap orang tua nya menggunakan bahasa Jawa Kromo
Inggil.
Kelompok
Annisa adalah sebuah Organisasi Sosial (Orsos) yang bergerak dalam penghapusan
kekerasan terhadap perempuan dan anak, penyedia layanan serta pemberdayaan
ekonomi bagi perempuan korban. Organisasi Sosial yang beranggotakan para
perempuan ini didirikan pada 28 Oktober 2004 di desa Karang Tengah, Kec.
Wonosari, Kab. Gunungkidul, DI. Yogyakarta. Orsos Annisa bercita-cita membangun
kehidupan masyarakat yang tidak mentolerir kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Untuk mencapai cita-cita tersebut Annisa melakukan berbagai aktifitas
diantaranya adalah; kampanye dan sosialisasi anti perdagangan dan kekerasan
terhadap perempuan dan anak; monitoring, mendampingi dan merujukkan perempuan
dan anak korban kekerasan; mencerdaskan masyarakat melalui pendirian Taman
Bacaan; pemberdayaan ekonomi kelompok dan perempuan korban kekerasan; serta
membangun jaringan dengan berbagai elemen pemerintah dan masyarakat untuk
penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
- Kelompok
Ngudi Lestarining Budi
Kelompok
Ngudi Lestarining Budi (KNLB) adalah sebuah wadah perkumpulan laki-laki dan
perempuan yang memiliki kepedulian terhadap persoalan kekerasan terhadap
perempuan dan anak. KNLB berdiri atas prakarsa para tokoh masyarakat, aparat
desa, tokoh agama dan komunitas di desa Ngawu, Kec. Playen, Kab. Gunungkidul,
Yogyakarta. KNLB yang juga berfungsi sebagai Community Base Cricis Center ini
bercita-cita menciptakan lingkungan masyarakat yang damai tanpa kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Dalam mencapai tujuannya KNLB melakukan upaya
monitoring, mendampingi dan merujukkan perempuan dan anak korban kekerasan,
serta kampanye anti perdagangan perempuan dan anak.
- Kelompok
HUMA (Hurriyah Ma`isyah)
Kelompok
Hurriyah Ma’isyah yang berarti kemerdekaan penghidupan ini berdiri sejak tahun
2004, namun secara resmi dideklarasi pada bulan Oktober 2005. Huma berdiri
dengan konsep awal sebagai Comunity Based Crisis Center (CBCC) yang melingkupi
wilayah kelurahan Cokrodiningratan kota Yogyakarta. Program organisasi Huma
salah satunya adalah melakukan monitoring, pendampingan dan memberikan rujukan
terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah
Cokrodiningratan.
- Kelompok
Perempuan Karangsewu
Organisasi
perempuan Karangsewu ada sejak tahun 2005, diawali dari perjuangan perempuan
pedesaan untuk mempertahankan lahan pertanian yang akan di gusur. Organisasi
perempuan Karangsewu bertujuan mewujudkan ruang-ruang demokrasi bagi perempuan
pedesaan. Organisasi ini juga memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap
perempuan dengan melakukan monitoring, pendampingan dan memberikan rujukan
terhadap kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
ASPEK
KEPERCAYAAN
Bagi
masyarakat Yogyakarta kepercayaan terhadap agama merupakan suatu yang tidak di
tinggalkanya. Bahkan Sultan mereka mendapat gelar dan predikat panotogomo yang
berarti pengatur dan pelindung agama. Sejalan dengan itu di Yogyakarta setiap
aliran agama, yang mendapat pegakuan dari pemerintah, bebas dan berhak mengembagkan ajaran-ajaran yang
dipercayainya. Di daerah ini agama-agama yang paling banyak penganutnya ialah
agama Islam, Kristen, baik Katholik maupun Protestan, Hindu dan Budha. Adanya
kebebasan untuk menyebarkan ajaran-ajaranya, memberi kemungkinan kepada
kelompok agama-agama untuk mendirikan tempat-tempat ibadah mereka, malah
pembangunan tempat ibadah-ibadah mereka selalu mendapat bantuan dari
pemerintaah, baik pusat maupun daerah. Kegiatan untuk itu tidak jarang dilaukan
secara bersama, bahkan dari agama lainya. Sehubungan dengan itu pada tahun 1952
jumlah masjid yang berada di daerah Yogyakarta
sebanyak 496 buah, langgar 3015 buah, sedangkan geraja sebanyak 64 buah.
Keadaan ini tentu telah berubahan, dalam arti kata jumlahnya sampai sekarang
makin bertambah banyak. Di Yogyakarta ada beberapa tempat ibadah yang cukup
terkenal karena bentuknya yang menarik, seperti masjid besar di komplek kraton
dan greja Katholik di Kota Baru. Sejak dulu daerah Yogyakarta merupakan tempat
subur bagi pertumbuhan aliran-aliran kebatinan. Pada tahun 1952 di Gunung Kidul
terdapat 4 buah organisasi kebatinan, di Bantul 21 buah, di Sleman 3 buah, di
Kulon Progo terdapat 4 buah dan di Yogyakarta 4 buah. Besar dari setiap anggota
organisasi kebatinan itu berbeda jumahnya tetapi jumlahnya berkisar dari puluhan
orang sampai ribuan orang.
Dewasa
ini aliran kebatinan termasuk apa yang disebut kepercayaan makin mendapat
tempat di masyarakat oleh arena adanya kesempatan yang lebih luas untuk
mengembangkan dirinya. Mereka sudah mendapat pengakuan resmi dari pemerintah,
dan setiap tahun pada tagggal 1 suro mereka merayakan hari besar mereka. Juga
sebagaimana agama lainya, aliran kepepercayaan ini telah mendapat hak untuk
menyebarkan ajaranya melalui media masa resmi pemerintah seperti televisi.
ASPEK
TEKNOLOGI
Pada
era informasi saat ini peran dan manfaat teknologi informasi dan komunikasi
semakin strategis dan mulai menguasai kehidupan masyarakat, baik secara
individu maupun organisasi. Pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi
telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan
perubahan sosial, ekonomi berlangsung cepat.
Penggunaan
teknologi informasi dalam suatu sistem elektronik adalah penggunaan sistem
komputer secara luas. Sistem ini adalah suatu sistem yang terpadu antara
manusia dan mesin yang mencakup perangkat keras, perangkat lunak, prosedur
standar, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang mencakup fungsi
input, proses, output dan penyimpanan.
Pengelolaan
data pertanahan dengan menggunakan teknologi informasi merupakan sesuatu yang
mutlak harus dilakukan hal ini berkaitan dengan karakteristik data pertanahan
itu sendiri yang bersifat multidimensi yang terkait dengan masalah ekonomi,
politik, pertahanan dan keamanan dan sosial budaya.
Pengelolaan
data pertanahan itu sendiri harus terintegrasi suatu Sistem Informasi dan
Manajemen Pertanahan Nasional yang mengalirkan informasi antar seluruh unit
organisasi baik di tingkat Kantor Pusat, Kantor Wilayah, dan Kantor Pertanahan.
Disamping sifat data pertanahan tersebut, juga pengelolaan pertanahan secara
elektronik ini untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin meningkat yang
terkait dengan keterbukaan informasi untuk masyarakat.
Pada
hari Sabtu, 10 Maret 2007 dengan mengambil tempat di gedung Balai Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), Jl. Cendana 15 Yogyakarta,
diselenggarakan seminar sehari tentang Nilai Budaya Jawa di Yogyakarta. Seminar
ini diselengarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dan Dewan Kebudayaan
Propinsi DIY. Seminar itu sendiri dilakukan dalam rangka inventarisasi
tatanilai budaya Jawa untuk menentukan kebijakan kebudayaan di wilayah
Propivinsi DIY yang akan menjadi bahan atau materi dalam Penyusunan Materi
Draft Tata Nilai Budaya Jawa di Yogyakarta. Demikian seperti yang dikatakan oleh
Ketua Pelaksana seminar, Prof. Dr. Djoko Surjo. Seminar diikuti oleh sekitar
50-an peserta. Ada pun peserta seminar di antaranya terdiri dari anggota DPRD
DIY, Dewan Kebudayaan DIY, dewan-dewan kebudayaan kabupaten, wakil perguruan
tinggi, pemuka agama, sastrawan, budayawan, pemuka masyarakat, dan lain-lain.
Sasaran dari penyelenggaraan seminar adalah untuk memperoleh masukan materi
tata nilai budaya Jawa untuk meningkatkan strategi pembangunan khususnya di
bidang kebudayaan.
ASPEK
SISTEM PENGETAHUAN
Dalam
kacamata demokrasi kaum muda hirarki normatif Jawa dipandang sebagai sikap
feodal yang menghambat demokratisasi dan bertentangan dengan prinsip
persamaan/egalitarian yang menjadi pilar utama demokrasi. Perbedaan cara
pandang yang diametral ini diakibatkan oleh perbenturan tata nilai lama dengan
unsur-unsur budaya baru yang secara substansial berbeda titik berangkatnya,
yakni pola pikir Jawa yang normatif karena kuatnya prinsip menjaga harmoni
berhadapan dengan budaya baru yang lebih berorientasi pada pencapaian hasil
secara kuantitatif.
Etika
Jawa yang semula sangat humanis mengalahkan kepentingan materi, ambisi pribadi,
dan gejolak hawa nafsu yang semuanya itu terabadikan dalam berbagai petuah dan
pepatah serta tergambarkan dalam tokoh-tokoh pewayangan, telah tergantikan oleh
perilaku budaya yang sangat konsumtif, hedonis, dan materialistik. Berkaitan
dengan kondisi seperti itu perlu dilakukan langkah strategis untuk
memasyarakatkan nilai-nilai budaya Jawa, yakni: dengan sosialisasi (melalui
pendidikan, kelompok budaya, desa budaya, kelompok masyarakat/organisasi, dan
sebagainya); kajian/penelitian dan pengembangan (historis, filosofis,
implementatif); regulasi/hukum (perlindungan terhadap situs budaya, kreasi
budaya, perangkat budaya), pengaturan/seleksi tempat hiburan; publikasi.
ASPEK
MATA PENCAHARIAN
karena
budaya Jawa dianggap sebagai sesuatu yang penting, berharga, dan diprioritaskan
sehingga sebagian warga masyarakat Jawa terlalu membanggakan tanpa reserve.
Sikap demikian itu membuat mereka tidak lagi kritis dan tidak lagi bisa melihat
adanya nilai-nilai negatif yang ada di dalam budaya Jawa yang mungkin tidak
lagi berguna. Oleh karenanya perlu dikemukakan beberapa langkah atau skenario
dalam mengaplikasikan budaya Jawa-Yogyakarta yang bernilai positif dalam
membangun manusia sebagai sistem sosial.
Langkah
itu di antaranya dengan memasyarakatkan ungkapan-ungkapan yang dapat
dimanifestasikan ke perilaku seperti memasyarakatkan ungkapan Hamemayu Hayuning
Bawana yang dapat diperinci sebagai Rahayuning Bawana Kapurba Wasesaning
Manungsa 'kelestarian dunia lebih dipengaruhi oleh kebijaksanaan manusia'.
Darmaning Satriya Mahanani Rahayuning Nagara 'darma bakti kesatria mewujudkan
kesejahteraan dan keselamatan negara'. Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane
'keselamatan dan kesejahteraan manusia terwujud karena perikemanusiannya'.
Ungkapan lainnya adalah Asih ing Sesami 'mencintai sesama' yang sepi ing pamrih
rame ing gawe; falsafah Golong Gilig (menyatunya pemimpin-kawula, Tuhan dan
umat-Nya); falsafah Sawiji (orang harus selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa),
Greget (seluruh aktivitas dan gairah/semangat hidup harus disalurkan melalui
jalan Tuhan Yang Maha Esa), Sengguh (bangga diciptakan sebagai makhluk sempurna
naun tidak boleh sombong), Ora Mingkuh (meskipun banyak mengalami banyak
kesukaran dan hambatan dalam hidup, namun tetap dijalani dengan penuh tanggung
jawab, dilandasi selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Adil, Penyayang, dan
Pengasih).
Membicarakan
budaya Jawa-Yogyakarta tentu tidak bisa lepas dari keberadaan Keraton
Yogyakarta sebagai cikal bakal pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan yang
sarat dengan nilai filosofi. Pemahaman, penghayatan, dan pengamalan dasar
falasafah budaya asli Yogyakarta seperti Hamemayu Hayuning Bawono, Golong Gilig,
Sewiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh, Hamengku,
Hamangku, dan Hamengkoni di dalam aplikasinya diperlukan payung hukum
yang harus disosialisasikan sampai ke lapisan masyarakat yang paling bawah di
DIY. Perlu melakukan pemilihan dan pemilahan terhadap nilai-nilai budaya Jawa
yang masih relevan sebagai faktor pemersatu dan pendorong pembangunan di DIY
dalam segala bidang. Perlu dilakukan reinventarisasi, reinterpretasi,
revitalisasi, dan pemberian ruh baru terhadap nilai-nilai budaya Jawa yang baik
tetapi sudah tidak lagi relevan dengan zamannya. Yogyakarta dengan keunggulan
aset budayanya sebagai factor endowments sangat potensial dikembangkan dengan
melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku pariwisata sehingga keuntungan
yang diperoleh tidak hanya dari sisi ekonomi namun juga keuntungan di bidang
budaya.
TAMBAHAN
Badai krisis ekonomi pada tahun 1997
telah mengecilkan pencapaian prestasi pembangunan nasional pada umumnya dan
penurunan angka kemiskinan yang mencapai 40% dari total penduduk Indonesia.
Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin mencapai 17,2%
(37,4 juta jiwa) dari total penduduk Indonesia yang mencapai 214 juta jiwa
(Feb.2003). Hingga 2004, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 36,1 juta
jiwa atau setara dengan 16,66% dari jumlah penduduk Indonesia. Daerah padat
penduduk seperti di Jawa Tengah, Daerah Istemewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan
Jawa Barat termasuk yang angka kemiskinannya tinggi. Karena jumlah penduduknya
padat maka secara absolut jumlah penduduk miskinnya juga tinggi. Jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 ini, 62 juta jiwa dan di Jawa
Tengah, 3,17 Juta keluarga dinyatakan miskin. Jumlah penduduk miskin yang ada
di Kota Semarang pada tahun 2004 berjumlah 79 ribu jiwa.
Hingga
bulan Februari 2006, menurut data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta,
jumlah keluarga miskin (gakin) menembus angka 31.367 Kepala Keluarga dari
jumlah total 81.859 KK yang ada. Sederhananya, 3 dari 10 orang penduduk
Yogyakarta tergolong miskin. Kelurahan Prawirodirjan, Pringgokusuman, Bener,
dan Kricak termasuk daerah dengan penduduk miskin mencapai 30 persen dari
seluruh penduduknya. Persentase penduduk miskin di 41 kelurahan lainnya umumnya
kurang dari sepertiganya, dengan porsi bervariatif. Angka ini merupakan turunan
dari kriteria kemiskinan yang tertera di Peraturan Walikota Yogyakarta No.
39/2005 tentang penetapan parameter kemiskinan Kota Yogyakarta.
Sementara
itu, jumlah penerima beras miskin (raskin) di Kota Yogyakarta ada 22.719 gakin.
Jumlah gakin di kota gudeg ini lebih kecil lagi jika merujuk data penerima
Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap I yakni 13.354 gakin, yang kriterianya
mengacu Badan Pusat Statistik (BPS).
Sebagian besar masyarakat miskin di kota gudeg ini mayoritas bekerja di
sektor informal. Ada pedagang kaki lima, tukang becak, pemulung, sampai
pengamen. Peta sederhana tentang persebaran warga kota yang berprofesi pekerja
sektor informal di sejumlah kampung di daerah Timoho dan daerah di pinggiran
Sungai Gajah Wong dan Sungai Code. Jika menengok ke sejarah asal mula dan
pertumbuhan kampung di Kota Yogya, banyak kampung seperti Timoho dan pinggiran
Sungai Gajah Wong muncul seiring dengan gelombang awal urbanisasi, setidaknya
sejak dekade 1970-an sampai 1980-an.
Untuk
mendefinisikan kemiskinan, Pemerintah Pusat membuat kriterium berdasarkan
beberapa pendekatan. Seperti yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (2004), pemerintah memaknai kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau
sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya guna mempertahankan dan mengembangkan kehidupan secara bermartabat.
Pendekatan yang digunakan meliputi: basic needs (menekankan ketakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar sebagai sumber kemiskinan); income poverty (menekankan
tiadanya kepemilikian aset dan alatn produksi), basics capabilitiy (menekankan
keterbatasan kemampuan dasar untuk menjalankan fungsi minimal dalam
masyarakat); social welfare (tekankan syarat yang harus dipenuhi agar keluar
dari kemiskinan); serta subjective (cara pandang kemiskinan dari sudut orang
miskin pandangan orang miskin sendiri).
Menurut
Suparlan, P. (1995), disusun beberapa indikator diantaranya: akses dan mutu
pendidikan yang rendah; kesempatan kerja dan berusaha yang terbatas;
ketersediaan perumahan dan sanitasi yang minim; lemahnya kepastian kepemilikan
dan penguasaan tanah; terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam;
lemahnya jaminan rasa aman; lemahnya partisipasi; hingga besarnya beban
kependudukan akibat dari besarnya tanggungan keluarga berikut tekanan hidup yang mendorong terjadinya
migrasi.
Dari
definisi yang global ini, pemerintah Kota Yogyakarta lalu menurunkannya dalam
definisi keluarga miskin. Merujuk pada pasal 1 PP No. 42 Tahun 1981, Pemerintah
Kota Yogyakarta melalui Peraturan Walikota Yogyakarta No. 39/2005 memaknai
keluarga miskin sebagai :
”…orang
yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok
yang layak bagi kemanusiaan.
Menurut
data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta (2006), yang bersifat
penyelamatan ini misalnya raskin atau Program Beras Untuk Keluarga Miskin.
Raskin diorientasikan sebagai bantuan kesejahteraan sosial atau bantuan
perlindungan sosial bagi keluarga miskin. Raskin juga ditujukan untuk menjaga
daya tahan pangan gakin agar tetap mampu membeli beras. Programnya berupa
penjualan beras murah sebanyak 20 kg/bulan dengan harga Rp 1000/kg. Untuk DIY,
melalui SK Gubernur No. 33/2003, Sultan menetapkan 10 kg/keluarga. Contoh
bantuan langsung lainnya adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai). BLT merupakan
kompensasi pemerintah kepada masyarakat miskin atas dicabutnya subsidi BBM.
Dengan BLT, diharapkan keluarga miskin tetap bisa mempertahankan daya belinya.
Dan masih banyak lagi skema bantuan dari pusat yang sifatnya langsung.
Munculnya
program seperti BLT ataupun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan
persoalan kemiskinan. Pihak kota lebih sepakat dengan program penanggulangan
kemiskinan yang sifatnya memberdayakan ekonomi masyarakat. Fokusnya bukan
perseorangan seperti BLT, melainkan kelompok masyarakat. Selain menjalankan
program yang berasal dari pusat, baik yang didanai dari APBN maupun bank Dunia,
Pemkot juga tengah melaksanakan program yang murni diinisiasi sendiri.
Dipaparkan
oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta (2006), beberapa program yang
kini dijalankan antara lain: Program Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi
(BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir
Usaha Kecil Industri dan Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif
Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan
Usaha Sosial Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program
Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program
Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa
Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda
Bagi Pedagang Kaki Lima.
Merujuk
Peraturan Walikota Yogyakarta No. 10/2005 tentang Penjabaran APBD tahun
anggaran 2005, program yang bernuansa penanggulangan kemiskinan di Kota
Yogyakarta tersebar di berbagai instansi. Di dinas Perekonomian, ada bantuan
keuangan kepada PKL sebesar Rp 750.000.000. Di Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi ada pelatihan keterampilan tenaga kerja. Dan Dinas Kesejahteraan
Sosial memiliki bantuan keuangan kepada penyandang rehabilitasi dan masalah
sosial yang mencakup bantuan pembinaan USEP KM sebesar Rp 14.500.000, bantuan
pengembangan USEP KM sebesar 13.200.000.
Meski
terfokus pada program yang sifatnya memberdayakan ekonomi, kota tetap
menjalankan program-program yang sifatnya “penyelamatan”. Ada bantuan beasiswa
sekolah, subsidi pelayanan kesehatan, atau yang paling nyata berupa santunan
dan perlindungan terhadap warga kota yang terlantar seperti anak jalanan,
gelandangan dan pengemis, serta manula. Peraturan Walikota No. 10/2005 juga
menggagarkan untuk Dinas Kesehatan berupa bantuan premi gakin sebesar Rp 1.
229.700.000. Lalu untuk Dinas Pendidikan dan Pengajaran berupa pengembangan SDM
yang mencakup beasiswa, bantuan tugas belajar, ikatan dinas sebesar 97.000.000,
biaya bantuan pelatihan dan kursus keterampilan sebesar Rp 45.000.000. Bantuan
pembinaan rentan anak jalanan dan anak jalanan sebesar Rp 108.300.000 dan
bantuan untuk fasilitasi dan rehabilitasi sosial sebesar Rp 15.000.000.
Yang
ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat
sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga,
kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini
beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang
menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan.
Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu
hidup. Menurut Adams Charles, (1993), seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika
ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal.
Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian”
(adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar
bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor
macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP
dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal
dalam menangani kemiskinan (Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta; 2006).
BUDAYA
UPACARA
1. Upacara gerebeg dan sekaten
Upacara gerebeg maulud tidak bisa
dilepaskan dengan perayaan sekaten sebagai tradisi keagamaan yang berlangsung
dari tanggal 5 sampai 12 rabiulawal, upacara sekaten ialah upacara tradisional
yang berkaitan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara ini secara
periodik diselenggarakan oleh pihak kraton kasultanan Yogyakarta setahun sekali
dengan penyelenggaraan upacara gerebeg maulud.
Upacara
sekaten ini berawal dari kerajaan demak dengan raden patah sebagai rajanya yang
pertama. Agar menarik perhatian masyarakat, maka selama sekaten dibunyikan dua
gamelan Nyai dan Kyai Sekati dengan gending 16 macam gubahan para wali.
Perayaan
sekaten ini akhirnya ditetapkan menjadi suatu tradisi resmi sejak kerajaan
islam pindah dari demak ke pajang, dari pajang ke mataram lalu ke Surakarta dan
Yogyakarta. Untuk Yogyakarta dua gamelan ini disebut dengan nama kyai
gunturmadu dan kyai nagawilaga yang ditempatkan di bangsal pagongan.
Dan
sekarang upacara gerebeg dan sekaten merupakan penunjang pariwisata di
Yogyakarta khususnya dalam bidang kebudayaan, karena banyak wisatawan lokal dan
asing banyak datang untuk menyaksikan upacara adat ini.
2. Upacara kehamilan dan kelahiran
a. Upacara ngebor-ngebori
Ngebor-ngebori
adalah selamatan yang dilakukan pertama kali pada saat kehamilan satu bulan.
Selamatan ini hanya berbentuk membuat sesaji, sesaji ini terdiri dari air yang
dilengkapi dengan bunga setaman dan jenang abor abor, yaitu semacam jenang
sungsum tetapi tanpa juruh.
b. Upacara nglimani
Nglimani
adalah selamatan yang dilakukan pada saat bayi berusia lima bulan dalam
kandungan. Selamatan nglimani ini dilakukan secara besar, yakni ada kenduri dan
sesaji, sesaji pada saat nglimani ini selalu berupa 5 macam antara lain ketupat
5 buah, jenang 5 macam (jenang bekatul,
merah, putih, merah putih, baro-baro), rujak-rujakan 5 macam ( rujak madu,
degan, tape, nanas, jambu), sambal 5 macam (sambal goreng, tempe, wijen,
jagung dan kacang), tumpeng 5 macam dan telur 5 buah
selain itu sesaji ini ditambah dengan gudeg, sayur ketok (sayur gurih yang bahannya merupakan
tempe, kluwih, waluh), jublek, gudangan, ingkung ayam, lalaban dan ditambah
dengan daging dan jajanan pasar. Nglimani ini bertujuan untuk memohon
keselamatan pada tuhan dan leluhurnya agar ibu dan bayi yang dikandungnya dalam
keadaan selamat.
c. Upacara Mitoni
Mitoni
adalah selamatan yang dilakukan pada saat bayi berumur tujuh bulan dalam
kandungan, upacara ini bahkan dilakukan cukup meriah bagi mereka yang mampu dan
berkelebihan. Menurut kepercayaan penduduk gadingharjo, janin yang berumur 7
tujuh bulan itu sudah menjadi bayi yang sudah siap lahir ke dunia. Upacara
mitoni ini di desa gadingharjo dibedakan menjadi 2 macam yaitu mitoni untuk
wanita yang hamil pertama kali dan wanita yang hamil kedua dan seterusnya, bagi
wanita yang hamil pertama upacara mitoni dilakukan dengan upacara siraman,
sedang wanita yang hamil kedua dan seterusnya hanya dibuatkan selamatan
kenduri. Secara umum tujuan dari mitoni ini adalah agar waktu melahirkan kelak
si ibu dan anak dalam keadaan selamat dan sehat wal afiat.
d. Upacara penanaman ari-ari
Pada
waktu menanam ari ari di tanah tidak ada upacara khusus akan tetapi ada tata
cara/adat istiadat tersendiri yang sangat sacral, caranya adalah pertama kali
ari ari dicuci bersih oleh dukun atau bapak dari si bayi, setelah itu
dimasukkan dalam suatu tempat dan dikuburkan di dalam tanah.